“Berarti perencanaan keliru bertahun-tahun kan. Program lama itu perencanaan di langit uangnya tidak ada. Jadi defisit itu artinya tidak sesuai apa yang diomongin. Misalnya tulis APBD Rp 10,1 (triliun) yah defisit Rp 1,5 artinya aslinya uangmu hanya Rp 8,5 T kan itu berarti 1,5 tidak ada duitnya,” sebut Bahtiar.
Bahtiar lantas menyebut penyebab anggarannya tidak ada karena yang diklaim termasuk dana bagi hasil daerah (DBH) untuk kabupaten/kota. Selanjutnya defisit juga disebabkan utang DBH yang menumpuk berdasarkan temuan BPK.
“Kenapa tidak ada duitnya? Satu, uangnya orang (daerah) yang kau (provinsi) klaim jadi duitmu, Rp 850 miliar DBH kabupaten/kota, kan begitu. Kemudian ada utang dari tahun lalu sudah audit BPK, ini harus diluruskan,” jelasnya.
“Misalnya ditulis akan ada pendapatan Rp 500 miliar diubah jadi program di PU atau Dinas Pendidikan kan nanti buat lelang, kegiatan segala macam, ini jelas-jelas yang tidak ada uangnya yang bayar siapa,” jelasnya.
Lanjut Bahtiar defisit ini dominan disebabkan DBH yang Rp 850 miliar harus yang harus dibayarkan ke kabupaten/kota. Sisanya merupakan temuan BPK tahun lalu soal DBH yang belum dibayarkan sampai saat ini.
“DBH yang haknya untuk kabupaten kota, yang porsi terbesarnya di situ. Maka caranya menyelamatkan kabupaten ini, hentikan semua program. Anak-anak (OPD Pemprov) tidak usah belanja lagi, kenapa kita mau belanja (sementara) masih ada utang,” jelasnya.
“Ini uang ta’ 10 kita belanja lah tidak lebih 10, paling tidak kita ada saving. Kalau uang ta’ 10 tetapi belanja 15 itulah dimaksudnya kekurangan 5 berarti. Itulah yang dilakukan selama ini, numpuk sekarang,” pungkasnya. (erwin)