“Hasil investigasi saya di beberapa pleno kecamatan, itu terbukti, di internal PAN sendiri, suara saya berkurang, ada di suatu tempat bertambah, terus ada suara partai berkurang, baru saya keluar. Dan ternyata di luar juga sama,” kesalnya.
“Yang harusnya kita dapat suara 4000 jadi 1500 suara. Tapi pas buktikan kecurangan ini, waktu itu kami tidak punya saksi sendiri, untuk mengambil D1 hasil pleno kecamatan, hanya saksi bayangan, tidak bisa memprotes. hanya saksi partai yang sudah masuk duluan,” sambungnya.
Ia menduga praktik jual-beli suara dilakukan sejumlah oknum ketua partai politik di provinsi yang notabene, mendapatkan anggaran dari pengurus pusat, semisal PAN. Anggaran dari pusat sangat besar, sampai-sampai calon kabupaten dan provinsi dari PAN untuk Pemilu Serentak 2024, dibiayai untuk penguatan dapilnya masing-masing.
“Mungkin itu yang tidak tersalurkan hingga sekarang PAN ini kondisinya jeblok. Belum lagi teman-teman di partai lain yang kebiasaan belanja. Kalau dibiarkan, ini akan merusak demokrasi kita,” tegasnya.
Sebaliknya, ia mengajak seluruh pihak, termasuk para caleg yang merasa dirugikan akibat praktik jual-beli suara untuk membentuk wadah dalam rangka bersama-sama melawan praktik tersebut dan melaporkan ke lembaga atau badan terkait, dalam hal ini Bawaslu NTB.
“Saya mengundang kawan-kawan untuk membentuk suatu wadah untuk melawan kecurangan ini. Mungkin dengan laporan ke Bawaslu tidak ditindaklanjuti, mungkin kita akan punya cara sendiri. Ini ladang kita berjuang untuk teman-teman kita yang terzalimi,” ajaknya.(RIN).
Sumber artikel: Postkota.com.