Tradisi Perang Sarung Telah Berubah Menjadi Tindak Kriminalitas

lpkpkntb.com – Aktivis muslimah Endiyah Puji Tristanti menyesalkan, tradisi perang sarung ada yang telah berubah menjadi tindak kriminalitas.

Hal ini diungkapkannya merespons adanya korban akibat aksi perang sarung pada Ramadan ini, seperti aksi perang sarung di Pasar Kemis, Tangerang, Banten (25-3-2023) yang memakan korban jiwa dan polisi mengamankan 18 remaja yang terlibat.

Mengutip pernyataan mantan Komisioner KPAI Retno Listyarti, ternyata sarung tersebut tidak kosong, tetapi ada yang dimasukan pipa hingga besi. “Inilah yang berakibat fatal ketika mengenai lawan,” katanya.

Tahun sebelumnya, perang sarung pun telah memakan korban, seperti yang terjadi di Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal jelang sahur, Ahad (10-4-2022). Akibatnya, seorang remaja meninggal dunia akibat tawuran menggunakan sarung tersebut. Para remaja itu saling serang menggunakan sarung yang diduga telah diberi batu. Mereka menggunakan senjata tajam, pentungan, dan benda lainnya.


Cepat Viral

Endiyah menuturkan, aksi perang sarung dengan cepat viral melalui media sosial. “Tanpa komando pihak mana pun, aksi perang sarung telah menyebar terjadi di wilayah Jabodetabek, Jateng, Jatim dan daerah lainnya. Semua pihak mulai keluarga, masyarakat, sekolah, aparat, pemda semuanya harus berpikir keras melakukan pencegahan agar aksi perang sarung dapat dihentikan dan tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi,” ucapnya.

Ia mengisahkan, perang sarung sebenarnya tradisi yang sudah lama berlangsung untuk menyemarakkan Ramadan. “Para remaja menjelang waktu sahur melakukan permainan perang sarung bersama teman-temannya. Saling sabet menggunakan sarung, sambal tertawa gembira di antara mereka,” ujarnya.

Tradisi perang sarung ada yang telah berubah menjadi tindak kriminalitas.dok/Istimewa.

Namun, ia menyayangkan, kini tradisi telah bergeser tidak sebatas permainan. “Perang sarung menjadi sarana antar kelompok remaja untuk beradu kekuatan dan kekompakan kelompok. Tidak hanya sarung yang disabetkan, tetapi batu, besi, pipa dibungkus di dalam sarung. Tentunya sangat berbahaya dan dapat menimbulkan korban jiwa,” ungkapnya.

Endiyah menilai, ruh Ramadan yang penuh kemuliaan telah tercerabut dari benak remaja. “Mereka tidak mampu menahan emosi dan kendali pemikirannya terlepas. Teman menjadi lawan, bahkan musuh yang harus dilemahkan.

Kepuasan berhasil menjatuhkan lawan menjadi orientasi. Permainan menjadi sebuah kompetisi yang hasilnya harus ada pihak yang menang dan ada yang kalah,” ujarnya prihatin.

Fenomena ini sangat menakutkan, jelasnya, karena generasi kita kehilangan kendali pemikiran. “Tidak mampu memenuhi dorongan naluri dengan benar dan hanya mengedepankan insting seperti binatang. Remaja kehilangan aspek kemanusiaan, brutal dan sanggup berbuat sadis,” sesalnya.


Faktor Pendukung

Endiyah memandang, ada banyak faktor pendukung terjadinya peristiwa ini, salah satunya adalah kebebasan konten media sosial.

“Ada banyak video viral di media massa dengan konten perang sarung. Meskipun durasinya pendek-pendek, justru video pendek ini yang menarik bagi generasi muda. Media sosial menjadi semacam sarana iklan gratis yang menginspirasi remaja, termasuk untuk hal-hal yang negatif dan merusak,” ulasnya..

Ia mengatakan, kita dan semua pihak memahami, kontrol negara terhadap media dan media sosial sangatlah lemah. “Pemerintah gagap teknologi meskipun pemerintahlah pihak yang paling sibuk teriak digitalisasi kepada generasi,” ungkapnya.

Endiyah pun sepakat, perlu kewaspadaan orang tua untuk menjaga anak-anak mereka. “Peran orang tua membina anak-anak mereka tidak bisa dianggap peran kecil. Masyarakat juga perlu peduli generasi, mewujudkan kontrol sosial ini penting. Peran guru, juga peran ustaz di lingkungan masjid mengingat alasan remaja adalah untuk ronda membangunkan orang sahur. Semua harus bekerja sama,” tegasnya.