Padahal “alah”nya dia, bisa saja ternyata adalah “aduhnya” jama’ahnya yang lain. Dan saya mulai mentradisikan lebih baik menghemat waktu dengan materi yang padat, dari pada berlama-lama toh paling yang diingat sama jama’ah dari materi tidak mungkin bisa banyak.
Apa lagi kaitannya dengan khutbah jum’at, secara khusus ada anjuran dari Nabi agar para khatib tidak terlalu panjang dalam menyampaikan wejangannya. Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda :
إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَـرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.
“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendek khutbahnya itu menjadi ciri kepahaman seseorang kepada agamanya. Oleh karena itu, perpanjanglah salat dan perpendeklah khutbah.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lainnya, shahabat Amar bin Yasir radhiyallahu’anhu berkata :
إِنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى أَنْ نُطِيلَ الْخُطْبَةَ
“Sesungguhnya Rasulullah melarang kami dari memanjangkan Khutbah.” (HR. Ahmad)
Itu mengapa khutbah saya dikenal termasuk yang paling ringkas dan cepat. Kadang kalau saya khutbah dan imamnya juga klop tak terlalu panjang shalatnya, kami sudah selesai shalat di tempat lain baru iqamat.
Dan saya belum pernah mendapat komplaim dari takmir apa lagi jama’ah gara-gara shalat Jum’atnya cepat. Malah kalau saya perhatikan, banyak jama’ah tersenyum senang.
Pernah saya tanya salah satu dari jama’ah alasannya kenapa suka khutbah ala saya yang ringkas, dia menjawab malu-malu : “Karena selesai shalat jum’at masih sempat digunakan untuk rebahan tadz. Hehehe.”
Ah ente nih jama’ah kadang-kadang…
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq