lpkpkntb.com – Sering sekali saya mendapatkan keluhan dari jama’ah yang mengadukan khatib jum’at yang khutbahnya sangat lama atau adanya mubaligh ketika ceramah, durasinya kepanjangan.
Meski sebenarnya tidak ada standar waktu yang pasti tentang berapa durasinya khutbah, kultum, kajian atau kajian umum, tapi biasanya mubaligh atau da’i itu sudah paham, bahwa semua ada ancar- ancarnya.
Kalau kultum yang merupakan akronim kuliah tujuh menit molor 15 menitan, itu masih wajar dan umum terjadi, tapi kalau sudah sampai setengah jam lebih, sudah pasti jama’ah akan gelisah.
Khutbah jum’at juga demikian, standar antar daerah memang berbeda-beda. Tapi yang jelas, khutbah di perkantoran atau di masjid perusahaan yang mengatur waktu karyawan dengan ketat, tentu tidak bisa disamakan dengan masjid kampung yang umumnya lebih bebas.
Dan para da’i kadang lupa membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup tentang masalah fiqih dakwah atau minimal mau mengenal medan dakwahnya. Materi dalam teori di kitab, sudah seharusnya diselaraskan dengan realita yang dinamis dan berbeda-beda di masyarakat.
Dan ini diperparah lagi oleh adanya fakta, bahwa diantara penyakit mubaligh itu kalau sudah ngomong suka lupa waktu. Materinya melebar kemana-mana.
Kalau yang begitu kajiannya renyah dan isinya ilmu yang padat mungkin tak terlalu berdampak, tapi kalau hanya obrolan ngalur ngidul, ya jama’ah dibuat nyesek juga akhirnya.
Biasanya ada yang mengandalkan jamnya untuk mengukur durasi berapa lama dia telah bicara. Tapi ternyata kasusnya kemudian setelah dia bicara, si mubaligh pun jadi lupa di menit keberapa tadi ia mulai open mic ….
Akhirnya, terjadi lagi apa yang terjadi, khutbah berubah jadi kuliah, kultum pun berubah jadi kajian yang durasinya menyentuh angka hampir satu jam.
Kalau sudah begini kasian jama’ahnya, boro-boro dapat ilmu yang ada malah ngedumel. Akhirnya yang terjadi banyak yang alergi dengan ceramah agama. Begitu juga ketika harus mendengar khutbah jum’at, pilihannya datang paling akhir pulang paling awal.
Kalau saya pribadi, begitu mulai pegang mic saya akan langsung mengusap HP untuk hidupkan stopwach, atau media perekam. Sehingga saya bisa memastikan berapa menit saya berbicara. Bahkan hingga kehitungan detiknya jika perlu.
Dan sebelumnya saya juga memastikan ke takmir atau jama’ah secara valid lewat beberapa sumber : khutbah, kultum, kajian atau ceramah apapun di sini biasanya berapa lama ?
Saya pastikan dulu dengan baik jika kondisinya saya tidak kenal kebiasaan masjid atau majelis taklim setempat. Tak cukup dengan satu informan, karena biasanya ada aja yang memberi jawaban sesuai opini pribadinya. “Alah terserah ustadz aja.”