Potret ORDE REFORMASI YANG TERGADAI: PELANGGARAN HAM SANGAT GANAS

lpkpkntb.com – Pelanggaran HAM yang dilakukan rezim orde lama adalah pembubaran Badan Konstituante, penangkapan tokoh-tokoh Masyumi tanpa proses pengadilan serta pembunuhan enam jenderal TNI dan seorang perwira secara sadis.

Orde Baru melanggar HAM ketika membubarkan parpol. Orde Baru juga membunuh ribuan orang. Dimulai dengan operasi DOM di Aceh, OPM – Papua, peristiwa Malari, 27 Juli 1997, serta tragedy Tanjung Priok, Lampung, dan Petrus.
Orde Reformasi tidak kalah sadis. UUD 45 dibubarkan. Setidaknya 894 petugas KPPS, meninggal secara tidak wajar dan 5.175 yang sakit pada Pilpres 2019. Pembunuhan secara sadis enam laskar FPI di KM50. HTI dan FPI dibubarkan tanpa proses Pengadilan. Penangkapan ulama, aktivis, dan mereka yang berbeda pendapat dengan penguasa melalui penyalah-gunaan UU ITE.

Pelanggaran HAM Orde Lama
Pemilu 1955 adalah pesta demokrasi pertama di Indonesia. Ia merupakan Pemilu yang paling jurdil, terbuka, dan demokratis. Demokratisnya ditandai dengan peserta Pemilu terdiri dari parpol, ormas, yayasan, dan anggota individual. Pemilu yang paling transparan. Sebab, 91,4% Pemilih berpartisipasi langsung. Golput hanya 8,6%. Padahal 97% rakyat buta huruf ketika merdeka.

Pada waktu Pemilu 1955, separuh penduduk masih buta huruf.
Bandingkan dengan Pemilu 2019, hanya 70,34% Pemilih yang berpartisipasi. Golputnya sangat tinggi, 29,66%. Pemilu 1955 paling efisien. Sebab, ia disiapkan hanya dalam waktu lima bulan. Pemilu selama orde baru dan reformasi disiapkan dalam waktu lima tahun.

Namun, Pemilu yang begitu jurdil, demokratis, dan transparan, dibubarkan Soekarno. Presiden Soekarno melalui Dekrit 5 Juli 1959, menyatakan kembali ke UUD 45. Sayangnya, beliau bertopengkan “demokrasi terpimpin.

” Demokrasi ala Soekarno, seakan-akan rakyat diberi kesempatan untuk berpendapat, tapi tidak boleh bertentangan dengan keinginan Soekarno. Mereka yang berbeda pendapat, ditahan tanpa Pengadilan.

Mayoritas yang ditangkap adalah tokoh-tokoh Masyumi. Muhammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, Buya Hamka, dan Kasman Singadimedjo, beberapa di antara mereka yang ditangkap Soekarno.

Pelanggaran HAM berat ketiga yang dilakukan Soekarno adalah membiarkan PKI membunuh enam jenderal dan seorang perwira TNI tanpa pemberian sanksi terhadap partai tersebut.

Pelanggaran HAM Orde Baru
Pelanggaran HAM pertama yang dilakukan Orde Baru adalah dibubarkannya partai politik. Modus yang digunakan adalah “regrouping.” Partai-partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) dilebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Partai non-Islam (PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba) dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Soeharto, demi eksistensi dirinya, membentuk partai sendiri, Golongan Karya (Golkar).

Pelanggaran HAM kedua yang dilakukan Orde Baru adalah menangkap tokoh-tokoh DI/TII. Kolonel Pitut Soeharto, anak buah Jenderal Ali Murtopo (Deputi Kepala BAKIN) menjebak tokoh-tokoh DI/TII dengan isu komunis gaya baru dari utara.

Lahirlah proyek Komando Jihad (Komji), 1976. Ribuan umat Islam dari pelbagai golongan dan profesi direkrut Ali Murtopo. Beliau memperalat Danu Hasan, salah seorang panglima DI/TII. Mereka bersemangat untuk bergabung karena isu menghadapi komunisme dari Vietnam. Anehnya, meski tidak ada gerakan radikal atau teror, ribuan ustad, aktivis, tokoh, bahkan pedagang kaki lima se-Indonesia ditangkap. Tuduhannya, mau mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Padahal, NII ini adalah proyek rekayasa Ali Murtopo sendiri.

Pelanggaran HAM ketiga, pembunuhan ribuan warga yang dikategorikan sebagai preman, 1982 – 1985. Eksekusinya melalui proyek Penembak Misterius (Petrus). Eksekusi penembakan di lapangan ini tanpa melalui proses pengadilan.

Pelanggaran HAM keempat orde baru adalah pemaksaan Asas Tunggal Pancasila. Seluruh ormas, orpol, dan yayasan wajib mencantumkan Pancasila sebagai asas. Guna melancarkan ambisinya, Soeharto membentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).

Tugasnya, menerbitkan kebijakan yang bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dampaknya, terjadilah peristiwa Tanjung Priok, 1974 yang mengorbankan sekitar 400 orang.