Kita ketahui bersama bahwa, rancangan dan pembuatan kurikulum hanya menjadi proyek tahunan atau periode tertentu, kemudian, akan habis berlakunya ketika periode kepemimpinan juga berakhir. Oleh karena itu relasi antara kurikulum dan kekuasaan adalah dinamika yang tidak bisa dihindari. Namun, pemahaman yang mendalam tentang relasi ini dapat membantu kita menciptakan kurikulum yang tidak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi juga alat pembebasan. Pendidikan harus menjadi sarana untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berdaya, akankah di era kepemimpinan Prabowo-Gibran ini bisa terwujud?
Baca:Bocoran Kurikulum Baru untuk Sekolah Menengah dari Kementerian Pendidikan?
saya sebagai seoarang akademisi, mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengawal proses penyusunan kurikulum yang berorientasi pada kepentingan bersama, bukan pada dominasi kekuasaan semata. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat transformasi yang sejati dan menjadi dominan pembebasan terhadap legitimasi kekuasaan, kita berharap perubuahan kurikulum dapat berpusat pada kepentingan pendidikan bukan bagi-bagi berapa sisa anggaran pembahasan dari kurikulum.
relitas kurikulum di negara ini dimulai sejak tahun 1968 kemudian, berlanjut ke tahun 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, hingga kurikulum merdeka belajar. hal tersebut menjadi bukti politik bahwa kurikulum tidak pernah lepas dari cengkraman kepentingan politik. para pakar pendidikan yang masih memiliki idealisme tertinggi terhadap pendidikan berkualitas meragukan bahwa sejumlah pergantian kurikulum semata-mata demi kepentingan pendidikan? merujuk pada Prof. Dr. S.Nasution. M.A. mengingatkan bahwa kurikulum dianggap bermakna bila bahan pelajaran dihubungkan atau didasarkan atas pengalaman anak dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, membicarakan masalah yang nyata seperti, soal kesehatan, kecelakaan, lalu lintas, dan sebagainya. topik ini harus di ajarakan dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu, seperti, biologi, fisika, kimia, matematika, geografi, olahraga, dan lain sebagaianya. oleh karena itu, ketika hal-hal tersebut mampu diperhatikan dengan baik maka hasil pendidikanpun diyakini akan berhasil.
penulis berpendapat bahwa, Kurikulum yang baru sering kali diperkenalkan tanpa evaluasi mendalam terhadap efektivitas kurikulum sebelumnya. Misalnya, Kurikulum 2013 (K13) baru saja berjalan beberapa tahun ketika digantikan oleh Kurikulum Merdeka. Hal ini membuat hasil dari implementasi kurikulum sebelumnya sulit diukur secara objektif.