PJ Gubernur Sibuk Mengganti Direksi BPD, Ada Apa?

Kembali pada masalah ganti kepala daerah maka ganti direksi BPD. Jangan sampai Pj gubernur yang hanya berkuasa dalam hitungan bulan ini ke depan melakukan “praktik-praktik” yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), dengan main ganti para direksi yang tidak sesuai dengan “pembisiknya”. Atau, yang tidak bisa “diajak” main mata.

Untuk itulah, menurut catatan Infobank Institute, pihak Kemendagri dan tentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menjadi benteng bagi para direksi dan komisaris BPD. Tidak hanya main ganti dengan alasan yang dicari-cari. Sepanjang tidak ada masalah integritas, dan hukum yang sudah terbukti, pergantian direksi dan komisaris BPD oleh Pj gubernur harus dihentikan. Apalagi, BPD-nya berkinerja “sangat bagus”, sesuai dengan key performance indicator (KPI) yang sudah ditargetkan.

Jujur, harus diakui, BPD merupakan BUMD yang relatif sehat, karena bisa jadi diawasi oleh OJK dan Bank Indonesia (BI). Banyak aturan yang mengatur dan mengawasi jalannya bank. Tidak seperti BUMD lainnya, tidak ada pengawasan dan lebih tidak jalan tata kelolanya dibandingkan dengan bank. Bahkan, BUMD selain bank dikelola bak toko kelontong.

Untuk itu, pihak Kemendagri sudah seharusnya “rela” perbankan dikecualikan dari PP No. 54 Tahun 17 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Itu juga harus didukung oleh OJK, karena OJK dasarnya adalah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang lebih tinggi daripada PP.

Sudah sewajarnya OJK berani pasang badan untuk BPD karena termasuk yang diawasi dengan tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan OJK. Jangan biarkan problem shareholder ini menjadi masalah dan “mengerdilkan” BPD. Kemendagri terlalu ikut cawe-cawe yang tidak semestinya, sebagaimana tertuang dalam PP 54 Tahun 2017.

Sudah waktunya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Presiden menjaga “muruah” tata kelola bank. Sebab, BPD itu juga bank, bukan PDAM. Sebab, bank tidak cocok dengan PP 54 Tahun 2017 – yang jujur saja, isinya “pengerdilan” BPD.

Jangan lagi ada kesewenang-wenangan di BPD dengan main “copot”, hanya demi kepentingan sesaat dari Pj gubernur yang akan berakhir di November 2024 ini (pemilihan kepala daerah).

Harapannya, para Pj gubernur yang “sukses” menjaga pemilu tidak melakukan abuse a power atau penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dari filosofi peralihan. Sekali lagi, jangan abuse a power – sebab kekuasaan Pj ini tidak mendapat mandat dari rakyat. Para Pj ini tidak dipilih oleh rakyat, tapi meski demikian toh pemegang saham harus tunduk pada POJK 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Umum. Pendek kata, para pemegang saham tidak main “bongkar-pasang” secara “brutal” demi ambisi politik kekuasaan.

Tidak hanya itu. Sampai saat ini juga masih ada beberapa BPD yang belum memenuhi modal minimum Rp3 triliun. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), hingga kini masih ada 12 BPD yang modalnya “cekak”. Berharap dari pemerintah daerah selaku PSP, yang sering “merecoki” para direksi BPD – agar semua BPD bisa memenuhi modal minimum Rp3 triliun pada akhir 2024 – sepertinya sulit.

Menurut Infobank Institute, membentuk kelompok usaha bank (KUB) adalah langkah yang cepat dan baik untuk mengatasi masalah permodalan BPD. Ada beberapa hal mengapa KUB ini akan menjaga kelangsungan BPD ke depan. Sebab, konsekuensi dari tidak memenuhi persyaratan modal akan membuat BPD turun “kasta” menjadi BPR seperti Bank Prima Master. Jika turun kasta, maka akan membuat kemunduran bagi BPD karena kapasitas bisnis jadi lebih kecil dan akan mengancam PAD.

Langkah KUB ini akan membuat BPD tetap berdiri tegak, meski dengan perubahan pemegang saham. Dan, Kemendagri tetap tidak kehilangan kendali terhadap BPD karena masih dimiliki oleh para BPD yang lebih besar. Dan, bisa jadi tingkat dividen akan makin besar meski kepemilikan saham mengecil. Lebih baik punya saham lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya. Tapi, dengan modal BPD yang meningkat, dividen bisa jadi akan menjadi lebih besar.

Jalan KUB adalah jalan terbaik bagi 12 BPD yang modalnya masih “cekak”, dan tentunya para Pj ini tidak hanya “sibuk” mengurus kursi direksi BPD yang makin hari makin panas. Semua ini membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah mengingat tenggat pemenuhan modal itu tinggal 10 bulan lagi. Waktu yang singkat.

Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group