Lpkpkntb.com – Pergantian direksi bank pembangunan daerah (BPD) kembali terdengar. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) dijadikan momentum untuk pergantian direksi. Tidak peduli kinerja atau masa jabatan belum berakhir. Tidak hanya para penjabat (Pj), tapi gubernur terpilih pun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, juga main “copot” direksi di tengah jalan. Para kepala daerah punya otoritas penuh sebagai pemegang saham pengendali (PSP).
Baca Juga:
Waow! 7 Daftar Uang yang Di Miliki Prabowo Subianto
Menurut kajian Infobank Institute yang pernah diumumkan beberapa waktu lalu, problem pengelolaan BPD bukan pada stakeholder, melainkan pada shareholder (pemegang saham). Sejak 10 tahun terakhir, BPD banyak mengalami kemajuan, terutama kinerja keuangan dan tentu perbaikan tata kelola, meski masih perlu ditingkatkan.
Hanya, hal yang tak pernah berubah di BPD ini yaitu mengenai “hobi” bongkar-pasang direksi BPD yang tak berpijak pada kinerja keuangan. Pendek kata, problem utama BPD ya shareholder – dengan pendekatan kekuasaan dan politik. Jadi, tak heran, pikiran direksi lebih banyak mengikuti acara gubernur atau Pj gubernur ketimbang urusan bisnis.
Lebih parah lagi, musim kampanye dan pemilihan gubernur. Apalagi jika gubernur dan wakil gubernur akan ikut berebut kursi gubernur. Terlebih lagi jika partainya berbeda. Itu belum urusan pemegang saham di tingkat kabupaten yang tak kalah rumitnya dan perlu dirawat juga oleh para direksi.
Langkah gonta-ganti direksi ini boleh jadi menjadi konsen Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lewat POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Umum – salah satu isinya menegaskan, setiap pergantian direktur utama dan direktur kepatuhan setidak-tidaknya “izin” dulu dengan OJK. Di sinilah OJK juga harus teguh, dan tidak membiarkan para Pj ini melangkahi POJK ini.
Kursi para direksi BPD hari-hari ini makin panas menjelang RUPST. Kinerja dan key performance indicator (KPI) sering tidak dipakai. Para kepala daerah mana yang lebih menguntungkan untuk kelanjutan kursi berikutnya. Di lain sisi, masih ada 12 BPD yang modalnya belum memenuhi ketentuan modal minimum. Hal ini juga perlu dipikirkan jalan keluarnya oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan para Pj kepala daerah.
Apakah kinerja keuangannya kinclong atau buram, pokoknya yang tidak bisa mendukung “langkah” politik dan para “pembisik” langsung dicopot. Bahkan, lebih baik mengosongkan posisi dirut dengan mengganti dirut lama yang belum habis masa jabatan dan masih bisa diperpanjang. Bukan memperpanjang, melainkan lebih baik tidak mengisi posisi dirut. Lebih senang menetapkan (Pj) dirut.
Penunjukan Pj gubernur ini janganlah sampai menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan –yang kerap terjadi dalam praktik pemerintah daerah. Misalnya, tanpa sebab yang jelas, Pj gubernur mengganti dan memutasi pejabat ASN, dan bahkan mengganti direksi dan komisaris BPD sesuka hati. Malah, juga memerintahkan pengalihan dana kas daerah ke luar dari BPD yang notabene milik pemerintah daerah.
Penunjukan kepala daerah ini untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur – maka diangkatlah Pj gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dan, seperti pasal 174, ayat (7), UU Nomor 10/2016, ”Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan Gubernur dan Menteri menetapkan pejabat Bupati/Wali Kota”.
Menurut catatan Infobank Institute, beberapa direksi juga dicopot di tengah jalan. Itu adalah hak dari pemegang saham. Namun, dalam konteks yang lebih luas, pergantian yang tidak didasarkan pada tata kelola yang baik, akan menempatkan BPD pada komoditas “mainan” kepala daerah. Padahal, BPD adalah institusi bisnis yang hidup secara terus-menerus. Sedangkan kepala daerah hanya sementara, dan maksimal 10 tahun.
Padahal, pemerintah daerah tidak hanya punya BPD, tapi juga perusahaan daerah (PD), seperti PDAM atau percetakan dan perusahaan lain, seperti apotek. Jujur, hanya BPD yang menghasilkan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Sementara, perusahaan daerah tidak banyak yang untung, bahkan tidak sedikit yang babak belur alias rugi.
Entah karena BPD penghasil PAD terbesar maka diperlakukan seperti “harta” peninggalan Nabi Sulaiman. Tidak hanya oleh kepada daerah, tapi yang paling bikin sakit kepala adalah oleh tim sukses dengan dalih program “CSR” yang terkadang tidak masuk akal dan lebih untuk balas budi setelah pemilu.