Penjelasan Sejarah Pemberi Gelar Haji Atau Hajjah Di Indonesia

“Perjalanan haji relatif lebih mudah dan cepat, tapi Gelar haji tetap digunakan dan bahkan semakin popular,” jelasnya.

Kemudian, Kedua, secara kultural, narasi dan cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji.

Sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Cerita ini terus bersambung hingga kini sehingga menjadi semacam genre tersendiri sebagai memoir.

“Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi,” ucapnya.

Pandangan Kolonial

Ketiga, dari perspektif kolonial, penyematan gelar haji juga punya ceritanya tersendiri.

Dulu, karena takut akan pengaruh haji bagi gerakan anti-penjajahan, pemerintah kolonial Belanda berusaha untuk membatasi jamaah haji, dengan berbagai cara.

Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arabia pada 1872.

Tugas konsulat ini adalah mencatat pergerakan jamaah dari Hindia Belanda, dan mengharuskan mereka memakai gelar dan atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

“Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje, yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah,” tandasnya.

Kementerian Agama 2019, menambahkan bahwa tradisi menyematkan gelar haji di depan nama, tentu jangan sampai merusak keikhlasan berhaji,

“Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji”, pungkasnya.

Sumber lain Sejarah Gelar Haji

Tidak benar bahwa gelar haji baru dipakai sejak tahun 1916. Bahkan, pernyataan ini menunjukkan keteledoran sejarah yang fatal.

Kemudian, berbagai fakta yang jumlahnya tidak terhitung banyak sekali yang menunjukkan bahwa gelar “haji” sudah dipakai sejak lama di Indonesia bahkan sejak sebelum Zaman Kolonial.

Fakta Gelar Haji

Salah satunya yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013:  33-34).

Ia menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji.

Ia merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji. Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”. Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651.

Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah.

Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia, dan sama sekali bukan buatan Belanda.

Bila pada abad ke-17 saja gelar “haji” sudah populer, apalagi abad-abad selanjutnya.

Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

(Sa/ya).