“Ada yang mengusulkan nama si a si b. Wah ini enggak ini anggota DPR, kalau anggota DPR walaupun mereka advokat dia enggak boleh karena advokatnya disuspend sebentar,” tutur Ketum PBB itu.
Yusril juga menegaskan tim hukum TKN Prabowo-Gibran tidak gentar menghadapi gugatan yang akan diajukan kubu Anies maupun Ganjar. Termasuk rencana TPN Ganjar-Mahfud yang akan membawa seorang kapolda untuk dijadikan saksi dalam gugatan pemilihan presiden.
“Ya silakan aja datang ke sana. Jadi kalau sekiranya ini sidang benar-benar terjadi, kita tidak terlalu khawatir karena scope ruang lingkup Kapolda kan bisa dibuktikan,” imbuhnya.
Pakar hukum Tata Negara itu menjelaskan kapolda hanya memimpin dalam ruang lingkup satu provinsi. Sementara itu, untuk memenangkan pilpres 2024 perlu unggul 50 persen plus satu dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Artinya, perlu unggul di 20 provinsi.
Menurutnya, jika saksi kapolda yang dibawa TPN bisa membuktikan ada kecurangan, tapi tak bisa menggugurkan wilayah yang lain.
“Ini wilayah Indonesia ini kan terdiri atas 38 provinsi kan, harus menang itu kan setengah provinsi plus satu, kapolda itu kan hanya di satu provinsi,” ujarnya.
“Kalau dia mengungkapkan terjadinya penipuan segala macam, pengerahan massa di tempat yang dia sendiri menjadi Kapolda, apa bisa menggugurkan 38 provinsi yang lain? Simpel,” terang Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Kemudian, Yusril mengungkit pengalamannya saat menjadi tim pembela Joko Widodo-Maruf Amin dalam sengketa pemilu pada Pilpres 2019 lalu. Saat itu, kubu lawan politiknya, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno mengancam akan membawa keponakan Mahfud MD menjadi saksi ahli.
Dalam narasinya, keponakan Mahfud MD adalah sosok hebat bisa membongkar kebobrokan IT KPU.
“Dulu juga pernah dibilang begitu oleh keponakannya Pak Mahfud, ada seorang pakar IT dari ITB yang menciptakan robot dan bisa membongkar kejahatan IT-nya KPU,” kata Yusril.
Namun kata Yusril, ternyata keponakan Mahfud MD itu justru diolok-olok saat hadir menjadi saksi ahli di MK. Sebab ternyata yang bersangkutan hanyalah seorang tamatan S1. Tak hanya itu, anak tersebut justru ditertawakan saat sidang gugatan pemilu di MK. Sebab tidak ada pihak yang mau bertanya karena meragukan kapasitasnya karena tidak mengerti apapun.