Akibat banyaknya pasal karet, interpretasi terhadap pasal-pasal tersebut sering multitafsir. Sebagian pendengung pro pemerintah memanfaatkannya dengan melaporkan siapa pun yang berani mengkritik pemerintah dengan beraneka tuduhan. Jadilah aksi lapor-melapor kerap mewarnai jalannya pemerintahan Jokowi yang dianggap antikritik. Lucunya, jika kritik terucap dari kaum oposan lalu ia dilaporkan, polisi cepat bertindak.
Pada akhirnya, UU ITE seolah menjadi alat bungkam yang efektif menjerat siapa pun yang menyinggung dan mengkritik pemerintah, sekalipun kritiknya sesuai data dan fakta. Kalaulah tidak sampai pada pelaporan, para pengkritik akan dihujani serangan verbal hingga personal. Ujung-ujungnya, si pelapor dituduh macam-macam, semisal penghasut, provokator, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan sebagainya.
Jika rakyat melawan lalu pemerintah membungkam, bukankah ini bentuk arogansi penguasa yang represif dan otoriter? Lantas, bagaimanakah seharusnya kritik yang benar itu?
–
Kritik menurut Islam
–
Bagi mereka yang memiliki pikiran jernih dan nurani yang bersih, tentu tidak akan berkompromi dengan kezaliman. Mereka juga tidak akan suka jika kekuasaan disalahgunakan. Kritik adalah tanda rakyat peduli pada negeri ini. Penguasa yang diberi amanah menjalankan roda pemerintahan semestinya berbesar hati menerima kritik rakyat.
Penguasa diberi mandat melakukan pelayanan pada urusan rakyat, bukan pihak yang minta dilayani rakyat. Artinya, jika pemerintah berbuat salah, ada hak rakyat mengkritik dan meluruskannya.
Islam mengajarkan aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim. Pahalanya besar di sisi Allah Taala. Kritik atau muhasabah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang terwujud dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Aktivitas inilah yang menjadikan umat Islam mendapat gelar umat terbaik.
Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang terbesar ialah mengoreksi kebijakan penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawub, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Pemimpin dalam Islam tidak antikritik. Rakyat boleh mengkritik penguasa secara langsung sebagaimana kisah seorang perempuan yang mengkritik kebijakan Khalifah Umar bin Khaththab ra. terkait pembatasan mahar bagi perempuan.
Rakyat juga bebas menyampaikan pendapat dan keluhannya kepada Majelis Umat, yakni bagian dari struktur negara Khilafah yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat khalifah meminta nasihat dalam berbagai urusan. Kewenangan Majelis Umat terbatas pada mengoreksi kebijakan penguasa, mengontrol jalannya pemerintahan, dan memberi masukan pada penguasa serta pejabat negara.
Islam memberikan keteladanan pada seorang pemimpin dalam menanggapi kritik atas kebijakannya. Tengoklah sikap Khalifah Umar yang lebih senang dikritik daripada dipuji. Beliau mengatakan, “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskan aku walaupun dengan pedang.” Begitu pula dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang legawa menerima kritik dari putranya sendiri lantaran ingin beristirahat sejenak sementara masih banyak urusan rakyat menanti untuk diurus.
Dalam Khilafah, kebebasan rakyat mengkritik penguasa tecermin dalam kisah aduan rakyat terhadap Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Kala itu, ia diadukan kepada Khalifah Umar karena hukuman yang diberikan Amr kepada putra Khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya, tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Khilafah sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Dengan kritiklah penguasa bisa selamat dari sikap zalim dan mungkar. Dengan muhasabah, penguasa akan bersikap mawas diri karena menyadari setiap kebijakannya pasti berdampak bagi rakyat yang dipimpinnya. Begitu juga dengan beratnya beban amanah yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat.
Penulis: Chusnatul Jannah