lpkpkntb.com – OPINI -“Yang ditangkap aspirasinya, bukan orangnya,” ujar Taufik Basari, Anggota Komisi III DPR RI Dapil Lampung I menanggapi viralnya akun TikTok @awbimaxreborn saat menyindir dan mengkritik kondisi sejumlah sektor di Lampung. Pemilik akun bernama Bima Yudho Saputro itu menyebut sejumlah infrastruktur di Lampung banyak yang rusak, proyek Kota Baru yang sudah lama mangkrak, pendidikan yang tidak merata, hingga ketergantungan terhadap pertanian.
Sayangnya, kritik pemuda asal Lampung itu justru ditanggapi dengan pelaporan advokat yang juga asal Lampung, Gindha Ansori Wayka, pada 10-4-2023. Advokat yang pernah menjadi tim kuasa hukum Gubernur Lampung tersebut melaporkan Bima atas dugaan memberikan informasi yang menyesatkan di publik serta merendahkan martabat dan menghina masyarakat Lampung dengan sebutan “Dajjal”. (intisari[dot]grid, 17-4-2023).
Tidak hanya itu, keluarga Bima diduga mengalami intimidasi dan intervensi. Buntut konten sang anak, ayah Bima mendapat panggilan dari Bupati Lampung Timur dan diperiksa pihak kepolisian. Untuk kesekian kalinya, kritik rakyat dibungkam dengan UU ITE. Lagi-lagi kritik berujung ancaman. Akankah kebebasan berpendapat kian terancam?
Akhirnya, banyak pihak pasang badan setelah Advokat Gindha melaporkan Bima, mulai dari warganet, anggota DPR, politisi, hingga pengacara. yang Bima katakan memang menarik untuk kita ulik faktanya. Apakah kritik tersebut realitas? Ataukah hanya hoaks sebagaimana yang dituduhkan sang advokat?
–
Cek Fakta
–
Infrastruktur jalan adalah fasilitas dan sarana publik yang sangat umum dinikmati masyarakat berbagai kalangan. Sangat wajar jika masyarakat mengeluhkan kerusakan jalan yang tidak kunjung ada perbaikan dari pemerintah setempat. Jika jalan rusak, tentu mengundang sejumlah bahaya yang mengancam, seperti rawan kecelakaan, arus lalu lintas macet, dan akhirnya berpengaruh pada perekonomian masyarakat.
Mengutip Detik (16-4-2023), dalam Peraturan Gubernur Lampung No. 38/2022 Pasal 16 bagian (d), Pemprov Lampung hanya menganggarkan dana senilai Rp72,44 miliar untuk pemeliharaan jalan. Padahal, dalam Pasal 8 Pergub yang sama, dijelaskan bahwa anggaran belanja daerah tahun anggaran 2023 provinsi Lampung direncanakan sebesar Rp7,38 triliun.
Artinya, Pemprov Lampung hanya mengalokasikan 0,98% anggaran belanja daerahnya untuk keperluan perbaikan jalan. Itu pun tidak sepenuhnya digunakan untuk pemeliharaan jalan saja, melainkan juga digunakan untuk pemeliharaan jaringan dan irigasi.
Di sisi lain, Pemprov Lampung mengalokasikan sebagian besar anggaran belanjanya untuk keperluan operasional pegawai yang direncanakan senilai Rp2,14 triliun. Artinya, pada 2023, Pemprov Lampung mampu menganggarkan Rp2,14 triliun untuk gaji dan tunjangan PNS-DPRD atau setara 29,05% dari total belanja daerah mereka. Sedangkan dana untuk perbaikan jalan hanya dialokasikan sebanyak Rp72,44 miliar.
Tentu ini angka yang sangat timpang. Anggaran untuk sarana publik, minim. Sementara itu, anggaran tunjangan pegawai dan anggota DPRD, lebih besar. Apakah kepentingan pejabat lebih utama ketimbang kebutuhan warga?
–
Rezim Antikritik?
–
Pada zaman digital hari ini, kritik lebih cepat mengena dan viral dengan media sosial. Setelah kritik Bima tentang jalan di Lampung ramai dibahas, pemerintah setempat tampak bergerak cepat dengan melakukan perbaikan jalan yang disebutkan Bima dalam akun TikTok-nya.
Namun, kritik rakyat kepada penguasanya juga sering kali dijawab dengan ancaman, intervensi, dan intimidasi. Kebebasan berpendapat yang katanya dijamin UUD 1945 pun akhirnya terancam. Penerapan UU ITE yang disahkan sejak 2008 membuat ruang gerak rakyat dalam mengkritik dan memberi masukan menjadi sempit dan terbatas.
Nyatanya, UU ITE banyak memakan banyak “korban”. Di antaranya, kasus Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional Tangerang (2008) dan aktivis Dandy Laksono yang ditangkap karena mengkritik kebijakan di Papua (2019). Begitu juga sejumlah aktivis KAMI, yakni Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, Khairi Amri (KA), dan Anton Permana (AP) yang ditangkap atas tuduhan penghasutan (2020).