Nama ,Scopus, bagaikan , hantu, yang menakutkan di dunia akademik: Banyak Jalan Menuju Profesor!

Jabatan fungsional merupakan kedudukan atau jenjang karier seorang dosen dalam dunia akademik. Terdapat empat tingkatan jabatan fungsional, yakni Asisten Ahli (AA), Lektor, Lektor Kepala (LK), dan Guru Besar.

Dari penjelasan di atas bisa Anda ketahui bahwa Guru Besar merupakan tingkatan tertinggi dalam jabatan fungsional.

Perbedaan Guru Besar dan Profesor

Ketika bertugas di perguruan tinggi, Anda tentu pernah menemukan atau mendengar dosen yang memiliki gelar Profesor di depan namanya. Sering kali, dosen tersebut juga dipanggil dengan sebutan Guru Besar.

Baca: Jawaban Seorang Profesor Begini Cara Ikan Tidur di siang dan Malam Hari

Lantas apakah ada perbedaan antara Guru Besar dan Profesor dalam dunia akademik?

Pada dasarnya, kedua istilah ini diperuntukkan pada satu hal yang sama. Guru Besar biasanya digunakan untuk menyebut posisi jabatan fungsional di dunia akademik. Sementara itu, Profesor merupakan gelar yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan Guru Besar. Umumnya gelar Profesor juga dicantumkan dalam nama setiap Guru Besar.

Baca: Dua Gelar Profesor Kampus UNS diCabut Menteri Nadiem Makarim Ini Masalahnya!

Kemudian Dosen di bidang ilmu apa pun yang ingin mengajukan kenaikan jabatan ke jenjang Profesor diwajibkan memiliki artikel yang diterbitkan di jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus atau Web of Science (WoS), sebagai syarat khusus. Bila tidak memenuhi syarat usulan akan ditolak.

Karena bersifat mutlak, upaya agar artikel ilmiah dimuat jurnal internasional bereputasi layaknya sebuah ‘hutan rimba perburuan,’ yang untuk mendapatkannya berbagai cara, taktik dan strategi digunakan: plagiasi, jasa joki, pemalsuan data, jasa penulisan artikel, dan calo Scopus (Kompas, 10 Desember 2018).

Akan tetapi, dengan telah terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2024 Tentang Profesi, Karier, Dan Penghasilan Dosen, sebuah cahaya terang dari lorong gelap “hantu Scopus” itu tampaknya mulai terbuka.

Nama “Scopus” bagaikan ‘hantu’ yang menakutkan di dunia akademik sejak beberapa tahun terakhir ini, khususnya bagi para dosen perguruan tinggi yang ingin mengajukan kenaikan jabatan ke jenjang Profesor.

Kesetaraan Publikasi Ilmiah

Bila dibaca secara cermat, peraturan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) itu secara implisit membuka jalan terang bagi penghargaan atau rekognisi atas keberagaman bidang ilmu dan keragaman bentuk publikasi ilmiah.

Jalan terang itu terlihat di salah satu persyaratan bagi dosen yang mengajukan kenaikan jenjang jabatan akademik ke Profesor, yaitu “memiliki publikasi ilmiah.” Akan tetapi, kriteria publikasi ilmiah itu ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek).

Dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen (PO PAK) Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek, tafsir “publikasi ilmiah” untuk kenaikan jabatan Profesor adalah tunggal, yaitu artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.

Akan tetapi, mengingat berbagai masukan dari masyarakat akademik tentang perlunya mengakomodasi keragaman karya dan publikasi ilmiah, tentunya Kemendikbudristek akan mempertimbangkan visi di dalam PO PAK 2019 sendiri tentang pesatnya “perkembangan ragam karya tulis dan jenis tempat pemuatan karya tulis tersebut.”