Sedangkan Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri mengembangkan Mazhab Maliki dan lebih menyempurnakannya, sehingga menjadi identik sebagai mahzhab Syafi’i. Beliau sendiri memang asli orang Mekkah, berdarah biru Quraisy dan nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada kakek mereka berdua, Qusyai bin Kilab.
Namun di masa jayanya, Imam Asy-Syafi’i memang tidak tinggal di Mekkah, beliau malah mendirikan mazhabnya yang amat besar itu di Irak, yaitu Baghdad yang waktu itu memang jadi ibu kota peradaban Islam.
Namun murid-murid beliau banyak yang mengajarkan mazhabnya di Mekkah dan Madinah. Bahkan nantinya banyak ulama Mazhab Syafi’i yang jadi imam di kedua masjid suci umat Islam. Misalnya Al-Juwaini yang digelari Imamul Haramain, imam dari dua negeri haram Mekkah dan Madinah.
Namun keberadaan mazhab Asy-Syafi’i yang dominan di kedua negeri haram itu sifatnya tidak menafikan keberadaan mazhab lain. Sehingga sepanjang masa Mekkah dikenal sebagai negeri yang ramah kepada semua mazhab. Meski Mazhab Asy-Syafi’i mendominasi, namun empat mazhab tetap eksis dan diberi ruang, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Coba perhatikan, dulu KH Hasyim Asyari pendiri NU itu belajar fiqih Mazhab Syafi’i di Mekkah, termasuk juga Syeikh Yasin Al-Fadani, dan banyak ulama nusantara yang merupakan lulusan madrasah di Masjid Al-Haram.
Yang menarik ternyata di masa lalu semua mazhab itu hidup rukun damai dan saling bantu. Contoh sederhananya hingga masa terakhir ini adalah sosok Syeikh Alawi Al-Miliki. Sesuai namanya beliau ini ulama fiqih yang bermazhab Maliki.
Namun ternyata Beliau juga mengajar fiqih kepada warga Indonesia yang bermazhab Syafi’i. Tapi bukan dalam rangka membodohi muridnya yang bermazhab Syafi’i sambil menggiring opini pindah mazhab ke Maliki. Tidak demikian.
Beliau justru mengajar fiqih Mazhab Syafi’i. Karena beliau memang menguasai ilmu perbandingan mazhab. Mau belajar fiqih mazhab yang mana saja, beliau punya ilmunya.
Sayangnya orang pinter model Beliau itu agak langka. Kebanyakan ulama tahunya cuma satu mazhab saja. Kalau disuruh mengajar fiqih dengan mazhab yang lain, jelas tidak paham.
3. Mazhab Hambali
Sepanjang zaman, Al-Haramain Mekkah Madinah bergonta-ganti penguasa. Ibarat piala bergilir, kemarin dikuasai oleh Bani Fulan, hari ini Bani Fulan yang lain yang berkuasa.
Di masa sekarang ini, dinasti yang berkuasa di kedua negeri ini adalah Dinasi Bani Saud. Nama resmi kerajaannya adalah Al-Mamlakah Al-Arabiyah As-Su’diyah. Kita bisa menyingkatnya menjadi Saudi Arabia.
Awalnya pihak kerajaan masih membuka diri kepada banyak bangsa muslim di dunia untuk berkiprah di kedua tanah haram. Banyak ulama dari berbagai bangsa bisa eksis mengajar dan menyampaikan ilmunya disana.
Dan otomatis juga banyak murid dari berbagai negeri yang menimba ilmu di tanah haram. Namun entah bagaimana, dewasa ini nampaknya ada kebijakan yang dinamis, yaitu pihak Kerajaan punya kebijakan untuk memberdayakan SDM mereka sendiri dan mengurangi peranan ulama dari berbagai negeri yang lain.
Maka yang lebih banyak ditampilkan dalam banyak aktifitas keagamaan seperti khutbah Jumat, majelis taklim dan ceramah agama kebanyakan hanya ulama Saudi saja. Ulama dari negeri yang lain semakin dibatasi kesempatannya.
Masalahnya ulama Saudi itu rata-rata hanya menguasai satu mazhab saja, yaitu Mazhab Hambali. Untuk mazhab yang lain, mereka memang kurang menguasai. Apalagi kalau harus mengajarkan empat mazhab seperti layaknya Syeikh Alawi Al-Maliki itu.
Sedangkan ulama yang menguasai mazhab selain mahzab Hambali kebanyakannya bukan warga Saudi. Sehingga mazhab yang lain jadi tanpa sengaja agak tersingkir oleh program Saudi-isasi (sa’wadah) pihak Kerajaan.
Entah disengaja atau tidak, hasilnya ulama yang bukan orang Saudi tidak bisa megajarkan secara resmi di Masjid Al-Haram, di majelis-majelis taklim dan termasuk juga di kampus-kampus milik pemerintah.
Sedangkan tenaga pengajar yang orang Saudi asli ternyata semuanya hanya bisa mengajar satu mazhab saja yaitu Hambali. Seiring dengan berjalannya waktu, maka jadilah mazhab yang berkembang secara resmi di Saudi hanya mazhab Hambali saja.
Tentu saja hal itu menimbulkan kegaduhan besar di Saudi sendiri. Sebab pemeluk mazhab selain Hambali sebenarnya cukup banyak, khususnya Mazhab Syafi’i.
Kampus resmi yang masih mengajarkan empat mazhab secara resmi masih ada. Salah satunya kampus yang saya dulu pernah jadi mahasiswanya, yaitu Jamiatul Imam Muhammad Ibnu Suud, yang berkedudukan di Riyadh, ibu kota Saudi.
Namun jurusan perbandingan mazhab di Universitas Islam Madinah sudah dihapuskan, diganti hanya mazhab Hambali saja. Namun balik lagi, namanya juga kerajaan, terserah raja saja bikin kebijakan.
Hanya saja sedikit agak mengganggu adalah banyak kitab-kitab terjemahan dari Saudi yang diterbitkan di negeri kita. Kalau kitab tentang pelajaran bahasa Arab sih tidak mengapa.
Namun, ketika kitab-kitab itu sudah masuk di ranah ilmu fiqih misalnya, maka fiqih mereka itu beda dengan fiqih kita. Mereka mengusung mazhab Hambali sedangkan kita Syafi’i.
Seandainya kitabnya bergenre perbandingan mazhab, mungkin masih tertolong. Masalahnya kitab-kitab itu pure murni 100% mazhab Hambali. Kalau diterapkan di negeri yang bermazhab Syafi’i, akan timbul kerawanan sosial. Apalagi kalau kitab terkait aqidah yang diterjemahkan, maka akan semakin runyam saja. Sebab mazhab kita (As-Syafi’i) adalah Asy’ari Maturidi. Sedangkan Saudi itu mazhabnya beda lagi. Seandainya bukunya sekadar perbandingan mazhab, tentu akan semakin mendewasakan.
Sayangnya buku-buku mereka ‘menyerang’ secara telak dan terbuka serta secara terang-terangan di siang bolong. Buku-buku itu kemudian jadi rujukan para ustadz yang belajar agamanya di Saudi. Mereka pulang lalu mendirikan berbagai ma’had, pesantren, sekolah, radio, tv, majalah, situs online dan perbagai konten video di medsos.
Isinya apalagi kalau bukan perpanjangan tangan dari dakwah di Saudi. Cocok untuk masyarakat Saudi yang se-mazhab, tapi memicu keresahan kalau diimpor bulat-bulat di sini.