lpkpkntb – Bila rakyat daerah tidak mampu melawan abuse of power pejabat pemerintah pusat, seperti manuever politik Mendagri TITO.
Maka rakyat daerah bisa melakukan “PENOLAKAN” secara bersama terhadap semua pejabat PLT yg ditunjuk oleh Mendagri TITO dengan persetujuan Presiden Jokowi…!!!
Argumentasi dari Prof. Suteki dibawah ini memperjelas “abuse of power” pejabat pusat terhadap kekuasaan daerah, atau hak kekuasaan autonomous rakyat daerah…!!!
Karena itu rakyat DAERAH wajib menolak PLT yg tidak dipilih oleh DPRD dan tidak mendapat persetujuan dari DPRD.
(Quote)
Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah Menuju Pemilu Serentak 2024: Apa salahnya dipilih oleh DPRD?
Pierre Suteki
Kekosongan jabatan kepala daerah dimulai pada 15 Mei 2022 dengan jumlah 5 (lima) gubernur-wakil gubernur yaitu dari Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Selanjutnya, pada 22 Mei 2022, menyusul 6 (enam) wali kotawakil wali kota serta 37 bupati-wakil bupati. Adapun 53 kepala-wakil kepala daerah lainnya berakhir masa jabatannya, Juli-Desember 2022. Setelah berakhirnya masa jabatan kepala wakil kepala daerah tersebut, semua daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah hingga terpilih kepala-wakil kepala daerah baru pada Pilkada 2024 (kompas.id, 9 April 2022).
Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah oleh Penjabat Penunjukan penjabat kepala daerah adalah hak prerogatif presiden, sedangkan penugasan penjabat gubernur dan penjabat bupati/wali kota dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri sesuai yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Sedangkan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, penjabat yang mengisi kekosongan posisi kepala daerah akan memimpin sampai terpilihnya kepala daerah pada Pilkada serentak pada 2024.
Dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tersebut juga mengatur mengenai syarat formal penjabat kepala daerah yaitu Pejabat Pimpinan Tinggi Madya untuk penjabat gubernur, sementara Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama untuk penjabat bupati/wali kota.
Adapun tentang mekanisme pemilihan dan pengangkatan penjabat kepala dan wakil kepala daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Kabupaten, dan Kota, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 12 April 2018.
Menurut PP ini, salah satu tugas dan wewenang DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota adalah memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam hal terjadi kekosongan untuk sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan.
Selain itu, DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota juga berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri, pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wali Kota dan Wakil Bupati/Walikota kepada Menteri melalui Gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian. Dalam PP ini juga diatur mekanisme pemilihan kepala daerah yang akan diusulkan kepada Presiden maupun kepada Menteri Dalam Negeri.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud diselenggarakan dalam rapat paripurna, dan hasilnya ditetapkan dengan Keputusan DPRD, bunyi Pasal 24 ayat (1,2) PP ini.
Mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, menurut PP ini, diatur ke dalam Tata Tertib DPRD, yang paling sedikit memuat:
(1) Tugas dan wewenang panitia pemilihan;
(2) Tata cara pemilihan dan perlengkapan pemilihan;
(3) Persyaratan calon dan penyampaikan kelengkapan dokumen persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
(4) Jadwal dan tahapan pemilihan;
(5) Hak anggota DPRD dalam pemilihan;
(6) Penyampaian visi dan misi para calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam rapat paripurna;
(7) Jumlah, tata cara pengusulan, dan tata tertib saksi;
(8) Penetapan calon terpilih;
(9) Pemilihan suara ulang; dan
(10) Larangan dan sanksi bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau calon Wakil Kepala Daerah yang mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai pasangan calon atau calon.
Berdasarkan hasil pemilihan, menurut PP ini, dalam rapat paripurna pimpinan DPRD mengumumkan:
(1) Pengangkatan Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah; atau
(2) Pengangkatan Wakil Kepala Daerah.
Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri, pimpinan DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota kepada Menteri melalui Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, bunyi Pasal 25 ayat (1,2) PP ini.
Memang secara esensial, mungkin tata cara pemilihan dan pengangkatan penjabat baru untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakilnya menuju Pemilu serentak 2022 terkesan kurang demokratis lantaran tidak dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pilkada langsung, tetapi saya kira anggapan ini bisa ditepis mengingat secara konstitusional sebenarnya tidak ada keharusan bahwa kepala daerah dan wakilnya harus dipilih melalui Pilkada langsung. Coba kita tengok ketentuan dalam Pasal Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Apa artinya demokratis? Apakah harus dipilih secara langsung? Apakah jika dipilih oleh DPRD itu artinya tidak demokratis? Bukankah kita juga mengenal demokrasi perwakilan/permusyawaratan sebagaimana diamanhkan Sila ke-empat Pancasila?
Memang betul juga kita memahami bahwa dalam situasi normal, tidak dalam rangka menuju pemilu serentak 2024, kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada langsung. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Namun, kita sebagai bangsa yang paham betul bagaimana berdemokrasi, kita mesti juga mafhum bahwa demokrasi tersebut tidak harus dilaksanakan secara langsung dalam keadaan tertentu, misalnya masa transisi model pemilu dari tidak serentak menuju pemilu serentak 2022.
Kita seharusnya juga sadar, bagaimana polarisasi rakyat, hiruk pikuk suasana, perpecahan yang sering berkepanjangan, biaya kampanye yang begitu tinggi sehingga ada temuan bahwa lebih dari 82% pilkada dibiayai oleh cukong dan dampak negatif lainnya dari pilkada atau bahkan pilpres langsung, oleh karena itu ke depan lebih baik kita kembalikan model pemilihan presiden dan wapres, kepala daerah dan wakilnya ke pemilihan perwakilan oleh MPR untuk Presiden dan Wakilnya, DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya. Bukankah kita juga sadar bahwa tidak ada jaminan kita memperoleh pimpinan terbaik melalui pemilihan langsung dibandingkan dengan pemilihan secara perwakilan? Lalu, buat apa kita mempermasalahkan pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan melalui proses pemilihannya di DPRD yang nota bene adalah wakil rakyat juga?
Tabik…!!!
Semarang, Rabu: 14 September 2022
……
(Unquote)
……..
…..
Well written arguments dari Prof. Suteki.
Lebih dari itu, memilih seorang pemimpin daerah adalah sepenuhnya bagian daerah autonomous rakyat daerah.
Bila PILKADA langsung tidak memungkinkan, maka pemilihan pemimpin daerah sementara bisa dilakukan oleh DPRD lewat “deliberation”, karena DPRD adalah wakil-wakil rakyat daerah dipemerintahan daerah.
Pengambilan keputusan “deliberation” dalam demokrasi itu juga ada 3 tahap”
1). Musyawarah untuk mufakat untuk mencari konsensus (unanimous decision), dimana mayoritas menyetujuinya, entah itu dengan suara simple majority, super majority atau strong majority.
2). Bila consensus tidak dicapai, langkah ke Dua adalah mencari jalan tengah, compromised version dari masing-masing pihak.
Untuk mencapai compromised version ini sebenarnya ada proses, mekanisme dan prosedurenya dalam deliberation, tetapi terlalu panjang untuk ditulis disini.
Intinya, setelah musyawarah untuk mufakat tidak dicapai, tidak langsung harus VOTING.
3). Setelah proses deliberation untuk mencari consensus dan compromised version tidak berhasil, baru diambil langkah terakhir dengan VOTING.
VOTING dalam deliberation dalam Parliamen itu juga ada syarat umum, dan syarat khusus.
Ini juga terlalu panjang untuk ditulis disini untuk membahas syarat umum.
Tetapi untuk syarat khusus adalah:
1). Harus memenuhi QUORUM.
2). Tidak boleh ada kondisi atau keberadaan “tyranny majority” di Parliamen, sebelum voting dilakukan.
Kalau voting dilakukan dan tyranny majority dibiarkan, khan brainless…???
Sudah tahu kelompok mana yg bakal menang voting.
Karena itulah, di US SENATE ada mekanisme FILIBUSTER untuk menghilangkan TYRANNY MAJORITY.
….
Jadi intinya, betul apa yg menjadi arguments Prof. Suteki.
Penunjukan dan penggangkatan seorang PJS, PLT dan PLH kepala daerah seharusnya dilakukan oleh: