Pendidikan dan kekuasaan adalah dua elemen yang tidak terpisahkan dalam membangun sebuah bangsa. Pendidikan menciptakan pengetahuan, sementara kekuasaan menentukan bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Relasi ini menjadi penting karena kekuasaan memiliki kapasitas untuk mengarahkan sistem pendidikan demi mencapai tujuan tertentu, baik untuk kemajuan bangsa maupun mempertahankan struktur kekuasaan.
Baca Artikel Menarik: 👉Antara Akhlak dan Ilmu: Menyiapkan Generasi Emas Indonesia Lewat Pendidikan Karakter👇
Sebaliknya, pendidikan dapat menjadi alat untuk mengkritisi kekuasaan yang tidak adil dan menciptakan transformasi sosial. Dalam konteks Indonesia, memahami hubungan ini menjadi kunci untuk menjawab tantangan bangsa di era globalisasi.
Sejak dahulu, pendidikan sering digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membentuk pola pikir masyarakat. Pemerintah kolonial Belanda, misalnya, membatasi akses pendidikan bagi rakyat Indonesia untuk mempertahankan struktur kolonial. Setelah kemerdekaan, pendidikan menjadi sarana utama dalam membangun identitas nasional dan meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pendidikan yang berkualitas mampu menjadi motor transformasi sosial dengan memberdayakan masyarakat untuk berpikir kritis, memahami hak-hak mereka sebagai warga negara, dan mendorong perubahan menuju keadilan sosial. Dengan pengetahuan yang memadai, masyarakat dapat mengawasi kekuasaan, menuntut transparansi, dan memastikan bahwa pemerintah bekerja untuk kesejahteraan rakyat.
Di negara-negara maju, pendidikan menjadi pilar demokrasi yang kuat. Melalui pendidikan, rakyat dibekali dengan pemahaman tentang politik, hukum, dan ekonomi, sehingga mereka mampu mengambil keputusan yang bijaksana dalam memilih pemimpin. Pendidikan yang memberdayakan juga menciptakan generasi yang mampu melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Meskipun alokasi anggaran pendidikan di Indonesia telah mencapai 20% dari APBN, masih banyak masalah seperti ketimpangan kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Hal ini menunjukkan bagaimana distribusi kekuasaan memengaruhi akses pendidikan yang merata.
Perubahan kurikulum sering kali dipengaruhi oleh kebijakan politik, bukan kebutuhan pendidikan. Perubahan nama atau struktur kurikulum dapat mencerminkan pergantian pemerintahan atau kebijakan politik. Di Indonesia, misalnya, kurikulum sering kali diubah setiap bergantinya menteri pendidikan untuk menonjolkan agenda politik masing-masing, tanpa evaluasi mendalam terhadap implementasi kurikulum sebelumnya.
Akibatnya, orientasi pendidikan menjadi tidak jelas dan lebih sering digunakan untuk kepentingan jangka pendek. Contoh perubahan kebijakan kuota Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dapat dilihat sebagai ilustrasi nyata bagaimana kebijakan pendidikan sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik kekuasaan daripada semata-mata kebutuhan masyarakat.
Pada awalnya, program BPI dirancang untuk mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia secara masif dengan menyediakan akses luas kepada pelajar dan profesional untuk melanjutkan pendidikan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri. Kuota beasiswa yang besar mencerminkan visi pemerintah saat itu untuk menciptakan transformasi sosial melalui peningkatan akses terhadap pendidikan berkualitas.