Dengan perubahan pernyataan pasal 1 ayat 2 ini, kedaulatan rakyat diambangkan karena dilepas dari genggaman MPR. Pengejawantahan kedaulatan rakyat tak lagi bersifat mutlak di tangan rakyat, melainkan bisa diperdebatkan (debatable), dan bisa dipindahkan oleh faktor konfigurasi kekuatan politik di lembaga perwakilan.
Lebih dari itu, perubahan pernyataan pasal 1 Ayat 2 itu pun terkesan kontradiktif. Sebab, rakyat disebut berdaulat, tetapi MPR tidak boleh menetapkan amanat rakyat kepada penyelenggara negara.
Jika mengacu pada terminologi berdaulat atau kekuasaan tertinggi, rakyat yang berdaulat sejatinya berhak dan berwenang merumuskan serta membuat ketetapan (TAP) strategis berskala nasional pada semua aspek kehidupan berbangsa-bernegara. TAP dari rakyat yang berdaulat itu tak lain adalah amanat rakyat yang menjadi pijakan bagi suprastruktur politik – khususnya penyelenggara pemerintahan — untuk menyusun kebijakan pembangunan nasional, baik pembangunan dari aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya hingga pertahanan dan keamanan. Dengan begitu, adalah keniscayaan jika wewenang MPR sebagai pengemban kedaulatan rakyat dipulihkan untuk membuat TAP MPR. .
Dengan memurnikan kembali hakikat kedaulatan rakyat yang diemban oleh MPR, pondasi dan sistem ketatanegaraan Indonesia kembali kokoh, responsif, solutif dan protektif. Karena menjunjung setinggi-tingginya hakikat kedaulatan rakyat, sistem ketatanegaraan Indonesia yang demokratis akan menjadi sangat bijaksana, karena mampu membebaskan negara-bangsa dari potensi terjadinya kondisi darurat yang diakibatkan oleh kebuntuan konstitusi. Serumit apa pun persoalan yang mengemuka di tengah kehidupan berbangsa-bernegara, persoalan itu akan terselesaikan ketika rakyat yang berdaulat menetapkan amanatnya.
Bersyukur bahwa negara-bangsa telah selamat melewati kondisi darurat akibat wabah Covid-19.
Pengalaman dari pandemi itu secara tidak langsung mengingatkan semua elemen bangsa untuk selalu mewaspadai bentuk lain dari keadaan luar biasa yang kehadirannya tak pernah bisa diprediksi.
Salah satu kemungkinannya adalah ketika pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat waktu sesuai perintah konstitusi, misalnya karena alasan bencana alam akibat gempa bumi megathrust, perang atau kerusuhan massal.
Konsekuensi dari Pemilu yang tertunda adalah kekosongan, karena pemerintah telah demisioner dan masa bhakti anggota legislatif pun telah berakhir. Kekosongan terjadi karena produk Pemilu yang meliputi Presiden-wakil Presiden, serta anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah, belum terpilih. Manakala kemungkinan ini terjadi, negara-bangsa terperangkap dalam kondisi darurat akibat kebuntuan konstitusi.
Kedaruratan seperti itu tak bisa dihindari karena tidak ada lembaga yang memiliki kuasa dan kewajiban hukum untuk mengatasi situasi seperti itu. Belum ada ketentuan dalam konstitusi tentang tata cara pengisian jabatan publik saat terjadinya kekosongan akibat pemilu yang tertunda.
Darurat konstitusi seperti itu akan tereliminasi dengan sendirinya jika MPR sebagai lembaga tertinggi negara pengemban kedaulatan rakyat berfungsi efektif. Sebab, melalui MPR, rakyat yang berdaulat pasti akan menyatakan kehendak dan amanatnya menanggapi persoalan kebuntuan itu.
Inilah urgensi mengembalikan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI melalui TAP MPR RI.
TAP MPR RI menjadi solusi bagi ragam persoalan negara manakala dihadapkan pada kebuntuan konstitusi, termasuk kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan fiskal dalam skala besar.
Ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR RI, TAP MPR dengan sendirinya akan mengatasi kebuntuan itu.
Untuk mengawal perjalanan negara-bangsa ke arah yang lebih baik di masa depan, fungsi dan peran MPR harus diperkuat sejak dini. Fungsi dan peran MPR sebagai pengemban kedaulatan rakyat hendaknya dipulihkan.
Tak kalah pentingnya adalah mengembalikan hak dan kewenangan Subjektif Superlatif MPR RI mengeluarkan ketetapan MPR RI. Kewenanangan ini patut dimaknai sebagai pintu darurat manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi kedaruratan luar biasa yang tidak bisa diatasi dengan tindakan yang biasa.
Dan, agar arah pembangunan nasional selalu berpijak pada visi-misi negara-bangsa sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945, pulihkan pula wewenang MPR untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai road map pembangunan nasional. (tim)