Kecimol: Kelalah Cikar Montor Liwat?

Ilustrasi. Dok. Lpkpkntb.com.

Lpkpkntb.com – “Ape kenen kecimol? kelalah cikar dokar montor liwat”_ seru TGH Lalu Supardan, saat mengisi sebuah pengajian disalah satu masjid di Loteng.

Meski hari musik nasional diperingati setiap 9 Maret, sebagai perayaan hari jadi sang maestro WR Supratman. Namun musik menurut saya adalah perayaan setiap hari, sebab ia menyelinap dalam berbagai ruang dan waktu.

Lebih-lebih saat rebahan, sembari scroll story atau saat-saat sedang galau atau sepi.

Musik menjadi teman yang setia hadir di gadget kita, bahkan dalam berbagai perayaan-perayaan adat, suku sasak diantaranya.

Nyong

Nyongkolan Hasbi dan Elva Ke Mataram Tahun 2014.
Nyongkolan Hasbi dan Elva Ke Mataram.

Seperti seni musik pada umumnya, musik didalam suku sasak sama-sama memperhatikan konsep etika dan estetika secara universal, yang dalam penerapannya menggunakan konsep tradisi, yaitu *”Semaiq”* dan *“Paut”* kesederhanaan dan kepantasan.

Pada konsep “semaiq” mengandung makna tidak mengada-ada, tidak berlebihan tetapi dapat dinikmati dan dimaknai.

Sementara itu, konsep “paut” mengandung pengertian nilai-nilai kejujuran dalam berekspresi, realistik, karya yang sejalan dengan norma sosial maupun susila.

Bahkan kedua konsep ini juga, ditegaskan oleh para pemikir di Barat, seni tidak melulu menyoal ekspresi semata. John Hopers misalnya, dalam karangannya tentang

“The Philoshopy of Art” mengatakan seni sebagai sebuah arti atas kebenaran dan pengetahuan, yang didalamnya terdapat Moralisme dan Estetisisme.

Meski kedua konsep tersebut berbeda, namun Plato dalam Republik dan Laws menegaskan bahwa moral dan estetik ini berhubungan intim. Dan tidak akan berfungsi secara keseluruhan tanpa yang lain.

Berangkat dari dua hal itu, belakangan, kita melihat beberapa produk kesenian musik sasak mulai keluar dari konsep yang dimaksud.

Kecimol kelalah cikar dokar montor liwat

Entah karena keterbatasan pengetahuan musikal atau mungkin hal lain. Sebut saja Kecimol, tak ada yang salah soal kebebasan berekspresi, namun apakah telah sesuai dengan konsep paut dan mencerminkan moralitas?

terlebih dengan penduduk muslim kita yang mayoritas? atau produk-produk kesenian jajajan (industri) wisata, yang belakangan mulai keluar dari konsep semaiq.

Bukan hanya musik, namun secara keseluruhan. Meski tak semua, namun ada banyak hal yang terlalu di lebih-lebihkan, bahkan kerap kali di ada-adakan.

Sebagai orang yang telah menempuh dan menyelesaikan studi musik sejak 9 tahun lalu.

sempat menuliskan buku Ilmiah populer tentang musik tradisional Sasak. Sering kali, didalam diskursus-diskurus yang saya ikuti, muncul pertanyaan apakah musik Kecimol

merupakan tradisi kita? Dengan tegas tentu saya menjawab tidak, namun dengan kompisisi musikal dan fungsinya yang hari ini.

Kita ketahui Karl-Edmund Prier, pendiri Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta misalnya, mengatakan bahwa istilah tradisi berarti bahwa suatu warisan dari masa lampau masih berlangsung terus sampai masa kini.

Hal ini dapat terjadi secara statis (tradisionalisme) dimana warisan dipandang sebagai pusaka yang harus dijaga secara utuh.