Inilah Jokowi Anak Durhaka

Jokowi juga secara tidak langsung memfasilitasi Gibran dan menantunya (Bobby Nasution) merebut kekuasaan di daerah. Kini Kaesang diplot menjadi calon Walikota Depok. Lebih daripada Soeharto, Jokowi ingin membangun dinasti politik. Mungkin hal ini tak terlalu merisaukan Mega, toh PDI-P yang mengusung mereka berkontestasi di Pilkot Solo dan Medan.

Yang paling mengecewakan Mega hari ini adalah upaya Jokowi mengisolasi PDI-P, partai yang berjasa membawa Jokowi — dgn kapasitas moral dan intelektual yang terbatas — ke kursi presiden. Dua hari lalu, dengan sangat arogan ia menghimpun lima parpol (Golkar, Gerindra, PKB, PAN, PPP) untuk membangun koalisi besar. Nyaris pasti koalisi ini akan menjagokan Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum Golkar Airlangga Hartarto sebagai pasangan bakal capres-cawapres.

Dengan begitu — kalau koalisi ini tidak berubah — PDI-P dibiarkan sendirian setelah Koalisi Perubahan untuk Persatuan (Nasdem, Demokrat, PKS) terbentuk dengan Anies Baswedan sebagai bacapres. Memang PDI-P bisa mengusung capres sendirian tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain.

Namun, peluang menangnya kecil kalau Puan Maharani adalah bacapresnya mengingat elektabilitasnya rendah. Ganjar Pranowo lebih menjanjikan. Tapi apakah PDI-P telah berdamai dengannya? Kalaupun Ganjar yang diusung, tanpa berkoalisi dengan partai lain propspek kemenangannya tetap kecil.

Apalagi Ganjar kini dilihat sebagai musuh Jokowi setelah ia menolak timnas Israel. Sikap PDI-P terkait Israel inilah yg membuat Jokowi, yang merasa dipermakukan PDI-P, menantang Mega dengan membentuk koalisi besar tanpa Ganjar. Padahal, salah satu variabel penting yang menempatkan Ganjar di tiga besar bakal capres bersama Prabowo dan Anies adalah politik asosiasinya dengan figur Jokowi. Jokowi terpaksa meninggalkannya karena ia telah berubah menjadi Brutus sebagaimana Jokowi menjadi Brutus bagi Mega.

Terlebih, elektabilitas Ganjar diprediksi merosot terkena getah Israel. Alhasil, posisi PDI-P kini tak menguntungkan. Partai itu juga tak dapat berharap dari coattail effect (efek ekor jas) Jokowi. Jokowi kini telah menjadi anak durhaka. Kesalahan Mega yang utama adalah kegagalannya melihat watak asli Jokowi.

Padahal, watak itu telah diperlihatkan Jokowi dengan jelas pada 2014. Sebagaimana diketahui, setelah Prabowo membawanya dari Solo untuk bersaing dengan gubernur petahana DKI Jakarta Fauzi Bowo, Jokowi berjanji tak akan ikut Pilpres 2014 di mana Prabowo adalah salah satu capres. Nyatanya, Jokowi mengingkari janjinya itu.

Kini giliran Mega merasakan pengkhianatan Jokowi. Mungkin ini merupakan tulah Prabowo. Pada 2009, Mega menandatangi Perjanjian Batutulis dengan Prabowo di mana ia berjanji akan mengusung Prabowo pada Pilpres 2014. Nyatanya ia ingkari dengan mengusung Jokowi.

Bagaimanapun, masih tersedia jalan keluar bagi Mega. Di depan matanya ada Menko Polhukam Mahfud MD yang kini popularitasnya melejit sebagai efek dari pembongkaran mega skandal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Bisa jadi juga pembongkaran kasus ini — kalau memang ini inisiatifnya sendiri — terkait ambisinya menjadi capres atau cawapres dalam pilpres menadatang.

Kalau Mahfud berhasil membongkar kasus ini hingga tuntas yang memuaskan publik maka, dalam konteks pilpres, tidak ada figur bacapres yang lebih populer daripada Mahfud saat ini. Apalagi kalau nanti ia dipecat Jokowi dalam rencana reshuffle mendatang.

Tapi kalau kasus megaskandal itu gagal dituntaskan, Mahfud akan kembali ke titik nol. Sebaliknya, kalau dituntaskan — apalagi kalau usul Mahfud agar dibuat UU penyitaan harta koruptor terwujud — bukan tidak mungkin orang-orang PDI-P juga akan terseret. Situasi politik tak menentu inilah yg membuat Mega teronggok di rumah. Mungkin ia tak mau percaya lagi pada siapa pun. Wajah dan penampilan sederhana seperti Jokowi memang sering mengecoh.

Tangsel, 4 April 2024.

Sumber artikel: http://fnn.co.id/post/jokowi-anak-durhaka