Inilah Jokowi Anak Durhaka

Oleh Smith Alhadar – Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

SAYA bayangkan hari-hari ini Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri teronggok di rumah penuh penyesalan. Belum pernah kondisi mentalnya terganggu seperti sekarang ini. Mood-nya rusak. Tak ada lagi semangat hidupnya.

Ia tak menyangka anak yang ia pungut dari pinggir jalan di Solo kini berlaku “kurang ajar” kepadanya. Dulu, Mega mengusung tukang mebel itu sebagai capres karena wajahnya menyerupai wong cilik. Ia tak menyangka Jokowi punya orientasi politik yang berbeda. Juga ideologinya.

Ternyata dia kapitalis ambisius. Penyesalan Mega dipicu sikap permusuhan petugas partai itu. Lihat, sejak jauh hari Mega telah meminta Jokowi mempertimbangkan kembali posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 yang pasti akan menggebrak seluruh rakyat.

Pasalnya, timnas Israel akan berpartisipasi di dalamnya. Dengan begitu, bendera Israel akan dikibarkan dan lagu nasionalnya akan didendangkan di negeri ini. Padahal, Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan penjajah Palestina itu, sehingga atribut-atribut negara Zionis itu akan terlihat seperti mengejek tuan rumah.

Lalu, ia merasa akan mengkhianati legacy politik ayahnya, Bung Karno, yang dua kali menolak Israel dalam event olahraga yang mempertemukan tim Indonesia dengan tim negara itu. Juga karena alasan konstitusi kita tak membenarkannya.

Di pihak lain, ia tak ingin ajang bergengsi Piala Dunia itu gagal digelar di negeri ini. Apalagi, sebelumnya, rilis lembaga survei yang kredibel mengungkapkan bahwa lebih dari 70% koresponden menolak keikutsertaan timnas Israel dalam ajang ini.

BIN juga telah memperingatkan akan ada demo besar bila timnas Israel ikut serta. Dus, Mega menawarkan beberapa opsi kepada Jokowi. Di antaranya, bendera Israel tak dikibarkan, lagu nasionalnya tak dinyanyikan, dan tak ada liputan serta penonton tiap kali timnas Israel bertanding.

Tapi Jokowi tak menggubris. Mungkin karena ia telah dapat jaminan dukungan dari Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf yang memang dikenal dekat dengan Israel. Lagi pula, Jokowi secara keliru hendak menaikkan pamornya di pentas nasional maupun internasional bila ajang ini berhasil dilaksanakan tanpa diskriminasi terhadap Israel sebagaimana keinginan FIFA.

Karena sikap meremehkan dirinya oleh Jokowi inilah yang mendorong Mega memerintahkan Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo untuk menolak pagelaran itu. Harapannya, PDI-P juga akan meraih simpati kaum Muslim yang tentunya berguna dalam konteks Pemilu mendatang. Namun, tampaknya ekspektasi itu tak tercapai. Bahkan, mungkin pemilih PDI-P merosot karena kasus ini.

Sesal Mega pada Jokowi bertambah jadinya. Sebelumnya, Mega telah kecewa pada mantan walikota Solo ini karena tergiur pada gagasan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan untuk memperpanjang masa jabatannya. Lagi-lagi permintaan Mega agar wacana itu dihentikan, disepelekan Jokowi.

Mega kesal bukan main karena ternyata Jokowi lebih mendengar Luhut daripada dirinya. Hal ini bisa dipahami lantaran Jokowi memang tidak berbagi ideologi dengan PDI-P. Wong cilik malah diperlakukan secara hina dengan melemparkan sembako dari jendela kaca mobil. Tujuannya bukan membantu mereka yang terpinggirkan, melainkan keperluan pencitraan.

Sikap Jokowi memuja harta dan kekuasaan terlihat dari pembiarannya terhadap ambisi anak-anaknya mengumpulkan kekayaan dengan cara-cara yang tidak elegan. Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep yang masih ingusan tiba-tiba menjadi kaya raya setelah berkolusi dengan oligarki yang bermasalah.