Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat ( 1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers mengatakan bahwa menjadi kewajiban dari Pers untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Lebih Lanjut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat(1) Undang-Undang Pers tersebut menjelaskan bahwa Pers Nasional dalam menyiarkan informasi , tidak menghakimi, atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang yang masih dalam proses peradilan serta mengakomidasikam kepentingan semua pihak yang terkait di dalamnya.
Dalam menjalankan perannya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pers, , Pers nasional harus menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia serta menghormati kebhinekaan.
Selain mengacu pada Ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Wartawan dalam menulis sebuah pemberitaan harus tunduk pada kode Etik sebagai pedoman perilaku dalam menjalankan tugas-tugas profesi jurnalistiknya. adapun kode Etik Jurnalistik sebagai berikut :
Adanya kesalahan ataupun kelalaian dari Penulisan sebuah pemberitaan yang mengakibatkan kerugian pada seseorang selain dapat diadukan ke dewan pers untuk mendapatkan hak jawab atau hak korektif.
Namun jika hak jawab atau hak korektif ditolak, Pihak Dewan Pers dapat memberikan sanksi Administrasi berupa teguran baik secara lisan ataupun tulisan baik terhadap oknum wartawan maupun terhadap badan hukum pers yang membuat berita yang keliru ataupun berita yang tidak benar.
Tentunya selain melalui Dewan Pers, pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut tentunya tidak menutup kemungkinan untuk menempuh upaya hukum melalui pengadilan.
Jika mengacu pada ketentuan hukum perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365-1366 KUHPerdata , maka ketentuan terhadap perbuatan melawan hukum baik secara sengaja ataupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerugian baik secara materiil maupun immateril wajib mengganti kerugian tersebut.
Dalam hal Pers sebagai badan hukum maka pertanggung jawaban kerugian tersebut dibebankan pada pengurus Badan Pers yang bersangkutan baik cetak maupun elektronik yang memberitakan berita tersebut.
Selanjutnya terkait dengan ketentuan Pemberitaan secara media online, dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 sebagai mana telah diubah menjadi Undang-Undang No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik tentang larangan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik diancam Pidana penjara 4 Tahun atau denda sebesar Rp. 750.000.000 sebagaimana dalam ketentuan Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang ITE.
Demikian halnya dengan Ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang ITE tentang larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/ arau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan diancam pidana penjara paling lama 6 Tahun atau denda paling banyak 1 Miliar Rupiah sebagana diatur dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang ITE.
Selanjutnyanya dalam rumusan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP Tentang pencemaran nama baik yang berbunyi : ” Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum , diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah
C. Kesimpulan
Penulisan berita oleh wartawan bukan berarti bebas tanpa aturan atau ketentuan hukum yang mengikat. Kebebasan Pers sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pers bukan kebenesan yang tidak bertanggung jawab.
Untuk menghindari terjadi permasalahan hukum dalam sebuah pemberitaan, maka seyogyanya seorang penulis atau wartawan tunduk pada kode etik, aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta tidak mengabaikan nilai adat budaya dan agama yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat.
(Dr. dr. Ampera Matippanna, SKed. MH).