Lihat As-Sirah An-Nabawiah, Ibnu Katsir, hal. 199-200.
Pendapat-pendapat ini cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa orang-orang yang mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada masa lalu tidak memastikan hari tertentu sebagai hari kelahirannya, apalagi untuk merayakannya. Telah berlalu sekian abad kaum muslimin tidak melakukan perayaan hari kelahiran beliau, hingga akhirnya kaum Fathimiah mengada-adakannya.
Syekh Ali Mahfuz rahimahullah berkata,
“(Perayaan maulid) pertama kali diadakan di Kairo, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, abad ke 4. Ketika itu mereka mengada-adakan empat perayaan kelahiran (maulid); Maulid Nabi, Maulid Imam Ali radhiallahu anhu, Maulid Fatimah Az-Zahra’ radhiallahu anha, Maulid Hasan dan Husain radhiallahu anhuma dan maulid Khalifah saat itu. Perayaan tersebut terus dilaksanakan hingga dihilangkan oleh Al-Afdhal, pemimpin tentara. Kemudian diadakan kembali pada masa khalifah Al-Amir bi Ahkamillah, pada tahun 524 H setelah nyaris dilupakan orang. Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid di wilaya Arbil adalah Raja Muzaffar Abu Sa’id pada abad ketujuh dan terus diadakan hingga hari ini. Bahkan orang-orang mengembangkannya dan melakukan bid’ah sesuka hati mereka dengan bisikan setan manusia dan jin.”
Al-Ibda’ Fi Madhari Al-Ibtida’, hal. 251
Adapun pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang merayakan maulid nabi, ”Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi’in’ Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum paham makna bid’ah yang telah diperingatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadits.
Dalam masalah ibadah, tidak dibenarkan seseorang bertaqarrub (beribadah) kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Kesimpulan inilah yang dapat kita ambil dari larangan beliau tentang bid’ah. (*)