Hujan September 2023 Pembawa Cinta

Setelah empat puluh lima menit, kami kehabisan pokok pembicaraan. Lelaki itu kembali terdiam, begitu pula dengan aku. Kembali, suasana menjadi asing bagi kami berdua.

Ku lihat di luar jendela kaca, hujan semakin menjadi-jadi. Gemuruh yang menggelegar menggetarkan kaca kedai. Ingin sekali aku kembali berbincang dengan Hendra seorang lelaki berpeci tampan yang baru ku kenal tadi. Mungkin hujan bisa jadi pokok pembicaraan yang menarik bagi kami berdua.

Setelah cukup lama kami berdua terdiam memandangi jalanan di luar yang basah, ku beranikan untuk menyambung pembicaraan.

“Oh iya, tadi kau berkata jika hujan itu kejam? Mengapa bisa seperti itu?” aku berpindah posisi ke sebelah jendela dan mataku tak pernah terlepas darinya.

“Hujan pernah merebut seseorang dariku. Beberapa tahun lalu, seorang wanita soleha pernah berkata kepadaku bahwa aku ini seperti hujan yang rintiknya menyejukkan mata siapa saja yang memandangnya.

Aku sungguh mencintai hujan saat itu. Tapi setelah beberapa lama, wanita itu pergi entah ke mana. Mungkin dia sudah menemukan hujan yang lebih menyejukkan hatinya daripada aku.

Selepasnya, hingga saat ini aku tak lagi terlalu menyukai hujan,” wajahnya berpaling dari jendela, lalu menatapku. Dia terlihat sedih. Matanya yang tadinya sayu, kini berkaca-kaca memperlihatkan kerinduan yang teramat sangat pada seseorang.

“Owh kamu yang sabar ya lupakan saja yg sudah berlalu sekarang bukalah lembaran yang baru”ucapku menasehati.

Wanita itu Indah sepertinya aku mulai tertarik padanya. Baris giginya yang putih tertata rapi. Besit senyumnya sungguh manis melebihi gula-gula. Aku menyukainya.

Rasa benciku kepada hujan, sepertinya akan berangsur-angsur menghilang. Sebab dengan hujan kali ini, aku bertemu dengan Hendra Seorang lelaki tampan manis senyumnya.

Tanpa sadar, ia tak lagi memikirkan wanita yang ia cintai dulunya lagi. Mungkin hujan sengaja mengurungku bersama Indah di hari ini. Terima kasih hujan, untuk waktu dan kesempatan yang kau berikan kepadaku saat harapanku kepada Lala sudah sampai pada puncaknya. Setidaknya, setengah hati yang Lala tinggalkan akan menemukan pasangannya kembali.

Aku heran, sudah satu jam setengah hujan tak kunjung reda. Mungkin siang tadi, matahari sedang terik-teriknya. Atau mungkin laut yang sedang jahil-jahilnya sehingga mengganggu matahari yang sedang cemburu kepada gunung-gunung yang selalu mendapat perhatian dari angin muson yang berhembus manja.Hendra tak pernah melepas pandang kepadaku Indah.

“kakak kasihan lelaki itu. Dia kehujanan,” seruku membangunkan Hendra dari lamunannya.

“Tidak, mungkin dia menyukai hujan. Atau mungkin ia sedang menunggu orang yang dicintainya.”

“Mana mungkin ada orang yang rela duduk di bawah rinai hujan yang lebat ini?” tanyaku penasaran.

“Mungkin saja. Aku pernah seperti dia. Aku pernah duduk berjam-jam hanya untuk menunggu seseorang. Sudah aku katakan kepadamu tadi kan? Aku pernah mencintai hujan dengan sangat,” jawabannya sungguh mengguncangku.

“Ha-ha. Ternyata kita sama-sama menyerah soal tunggu-menunggu, kakak?”

“Ha-ha. Benar, kakak Hendra tampan,” tawaku menutup perbincangan sesaat.

Bertepatan dengan akhir tawaku. Hujan di luar mulai reda. Reda hujannya sungguh tiba-tiba. Padahal aku kembali menyukai rintik air yang turun tanpa diminta.

“Kak Indah cantik, sepertinya hujan di luar sudah berhenti. Maukah kau temani aku jalan-jalan ?” tanyanya.

“Hmm, boleh. Aku juga sedang tidak ada kesibukan akhir-akhir ini,” jawabku mengakhiri kunjungan ke kedai kopi ini.

Setelah membayar tagihan kopi yang kami minum, kami keluar dari kedai. Orang-orang yang tadi ada di kedai, kini masih di sana. Tawa mereka sungguh lucu, menggambarkan kebahagiaan yang besar. Aku iri dengan mereka. Sudah sangat lama aku tak tertawa seperti itu.

Kami berjalan bersebelahan bergendengan. Tinggi Hendra tak menyamai tinggiku. Tingginya hanya setinggi bahuku. Baju kami sudah sama-sama mengering. Kini di setiap jalanan yang kami lewati, selalu ada burung-burung gereja yang keluar dari sarang merayakan hujan yang sudah reda. Tanpa kami sadari, burung-burung itu menjadi pokok pembicaraan kami.

“Lihatlah burung-burung itu, Kak! Mereka sangat senang hujan sudah reda.” Tangan ku diangkatnya setinggi mataku. Menunjuk ke arah burung-burung gereja tadi.

“Iya, kak. Burung-burung itu sungguh bahagia melihat jalanan tak lagi menggenang,” jawabku menyetujui pernyataan Hendra.

Tak puas dengan jawabanku, Hendra kembali bertanya. Kini tangannya sudah tak lagi menunjuk burung-burung itu.

“Lalu, pernahkan mereka mencintai hujan seperti kita?” Pandangannya kini kosong melihat ke depan. Entah apa yang sedang dipikirnya.

“Mungkin pernah kakak lelaki tampan saat kemarau misalnya. Semua yang hidup pasti membutuhkan hujan, kak! Mungkin burung-burung itu sama seperti orang yang kita tunggu. Dia hanya membutuhkan hujan sesaat. Namun jika ia sudah tak membutuhkannya, ia akan berpaling dan berbalik membenci hujan.”

“Benar tuan, mungkin mereka hanya cinta secukupnya kepada hujan. Tak seperti kita. Kita benar-benar mencintai hujan dengan sangat. Seperti cinta sungai kepada sawah-sawah yang ikhlas.”jawabku.

Tak terasa, kami sudah sampai di persimpangan tempat kantor pos itu berada. Di depan kantor pos, terdapat kotak surat yang cukup besar.

“Lihat, Kak Kita sudah sampai. Mari kita ke sana, ke kotak surat di sudut persimpangan.” aku berlari menuju kotak surat yang ditunjuknya.

“Hati-hati, Sayangku Indah jalanan licin akibat hujan.” ia menyusul ku. Aku tak menghiraukan perkataan nya aku masih saja berlari tanpa takut tergelincir, karena jalan yang licin.

Sebelum aku memasukkan sebuah amplop yang sudah ia siapkan, dia mengepalkan tangan. Sepertinya ia berdoa kepada Tuhan agar langit membalas semua surat yang ia kirimkan. Aku berdiri di belakangnya.

Menunggunya selesai berdoa dan memasukkan amplop putihnya ke dalam kotak surat itu.

“Semoga langit membalas surat ku bersama dengan caranya sendiri. Mungkin langit tak akan membalas surat ku dengan tertulis, tapi kita harus yakin surat itu sampai padanya. Mungkin lewat kehendak Tuhan, langit mempertemukan seseorang yang bisa mencintaiku dengan sungguh dan tak sekedar singgah.” Kata-kata Ku Indah sungguh luar biasa.

Mungkinkah orang yang dikirim langit untuk bisa mencintainya adalah aku lalu tiba tiba saat selesai bedoa memasukkan amplop Hendra berkata serius kepadaku?

“Kak Indah yang cantik aku ingin bekata bahwa dri awal aku melihatmu ternyata aku sangat mencintaimu maukah kau menjadi pacarku pendamping hidupku selama nya”ucapnya.

“Iya aku mau “jawabku tak percaya ia menembakku.

“Alhamdulilah jdi sekarang kita sudah resmi pacaran kau memang pendamping hidupku yang selama ini aku cari”ucapnya bahagia.

Setelah kami resmi berpacaran kami berjalan pulang menyusuri jalan yang sama dengan jalan yang tadi kami lalui bersama. Kini sudah tak ada burung-burung yang berkeliaran.

Pelangi menghiasi langit kota. Jingga senja menutup hari ini, hari baik di bulan yang tak terlalu buruk.

Tamat😀 (Putri)