Daun-daun gugur menderai. Menutupi bangku yang ada di sisi utara sebuah taman yang berjarak tak jauh dari sebuah jalan.
Jalan itu tak pernah lepas dari pandanganku. Pohon-pohon mahoni yang kemarin tingginya tak lebih tinggi dari pohon ceri itu sudah lama ditebang.
Bunga-bunga yang sewaktu aku datang masih berbaris rapi membentuk tulisan ‘Taman Kaca’ kini lemas tak beraturan.
Di sisi langit barat, banyak awan yang menggantung berkerumun. Abu-abu warnanya.
Matahari yang tadi seakan menyeringai panas, kini tertutup awan yang mungkin saja membawa kabar akan datangnya badai malam ini.
Angin bertambah kencang. Air-air mulai turun perlahan. Saluran irigasi kembali pada pekerjaan semula.
Aku pergi ke seberang jalan depan taman untuk berteduh di depan toko bangunan. Aku heran, pada cuaca seperti ini masih ada saja orang yang bepergian termasuk aku jalan kini basah kuyup. Banyak genangan di sana-sini.
Aku yang ingin menunggu seseorang yang kupanggil Risma. Aku selalu menunggunya di taman itu setiap televisi memberitakan akan datangnya hujan lebat. Badanku terasa dingin.
Bajuku basah tersiram air yang dicipratkan oleh mobil yang lewat dari arah barat tadi.
Tiba-tiba ada seorang lelaki tampan idaman para wanita berpeci hitam ikut berteduh di sebelahku. Bajunya basah kuyup setelah diguyur hujan yang baru saja turun.
“Permisi Kak. Bolehkah saya berteduh di sini bersama mbaknya?” tanya lelaki itu seketika membuat aku tersadar dari lamunanku.
“Boleh saja kak teritisan ini masih bisa menampung kita berdua.” Aku bergeser sedikit ke kiri, memberikan isyarat kepada lelaki itu agar berteduh di sebelahku.
Aku kembali memandang jalan dan pemandangan perasaanku mengatakan bahwa hujan akan turun cukup lama.
“Hujannya mulai deras,” ucapanku membuka pembicaraan setelah kami berdua terdiam sekitar sebelas menit.
“Iya, sepertinya hujan akan turun cukup lama,” jawabnya ramah. Gigi-gigi yang berderet rapi membentuk sebuah senyum yang hangat.
“Kalo boleh tau nama kakak siapa ya”tanyaku.
“Nama saya Hendra kak”jawabnya sambil tersenyum.
“Owh salam kenal ya dan perkenalkan nama saya Indah”ucapku.
“Iya kak salam kenal juga”jawabnya.
Benar saja, hujan turun bertambah deras. Gaduh air yang mengalir ke atap kami terdengar menggerutu. Langit sepertinya sedang sangat bersedih entah karena ditinggal kemarau atau karena sebab lainnya. Beginilah saat hujan turun mengguyur, aku yang bebas menjadi tahanan yang dikurung di dalam rinai-rinai air yang telah diuapkan oleh matahari siang tadi.
Kami berbincang-bincang seperti laiknya orang yang baru saja bertemu dan baru saja berkenalan.
Dia bercerita tentang kesibukan yang sedang ia lakukan. Aku pun sama, aku menceritakan sedikit tentang kegiatanku menulis buku.
Tiba-tiba lelaki itu Hendra menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat aku begitu bingung.
“Bagaimana menurutmu tentang hujan?” sederet kalimat tanya muncul dari sela-sela bibir lelaki itu
“Aku sangat suka hujan,Hujan selalu memberiku keceriaan” jawabku dengan muka bahagia.
“Bagiku, hujan itu terlalu kejam,” sebuah pernyataan keluar dari mulut lelaki tanpan itu .
“loh kok gitu kan hujan itu seru kita bisa bermain bersama nya seperti waktu kita kecil . Burung-burung pun sangat menyukainya,” pangkasku.
Aku tak terlalu paham mengapa lelaki itu menganggap hujan sebagai sesuatu yang kejam. Apakah ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku tentang hujan?
Kami kembali terdiam dalam kerasnya suara hujan bersama petir yang kuat.
Di dekat toko bangunan tempat kami berteduh, ada sebuah kedai kopi yang tak cukup ramai. kedai kopi itu menjadi salah satu tempat destinasi untuk para penikmat malam.
“Bagaimana kalau kita ke sana, ke kedai kopi? Mungkin segelas kopi bisa menemani kita sembari menunggu hujan reda,” seruku mengajak lelaki itu bernama Hendra menuju kedai kopi di sebelah toko tempat kami berteduh.
“Hm?” sahut lelaki itu sambil mendekatkan telinganya ke bibirku meminta pengulangan.
“Mari ke kedai kopi ku dengar ada jenis kopi baru yang kini menjadi minuman favorit orang-orang,” nadaku bertambah tinggi. Aku tak berniat memarahinya, hanya saja suara hujan begitu gaduh. Suaraku menciut dibuatnya.
“Boleh,” jawab lelaki tampan itu menyetujui.
Lelaki itu berjalan di samping ku sembari menggendeng tangan ku tak mau kehilangan Langkah kami beriringan mencari tempat kering yang tidak tergenang air. Tak terasa, kami sudah berada di depan pintu masuk kedai itu.
Gedungnya cukup bagus, terlihat seperti bangunan yang mencolok mata. Di depannya tertulis ‘Kedai Kaca’. Tanpa pikir lama, kami masuk, dan terdengar bel yang menandakan ada pelanggan yang datang.
Di dalam kedai, hanya ada beberapa orang yang saling berpasangan. Raut wajah mereka menyiratkan rasa terima kasih kepada hujan. Mungkin karena hujan, mereka bisa menghabiskan sedikit waktu untuk bersama dengan seseorang yang mereka kasihi.
Dua gelas kopi hangat kami pesan untuk sekadar menghangatkan tubuh yang kedinginan karena hujan dan angin yang turun secara bersamaan. Lelaki itu Hendra perlahan mencicipinya. Tangan yang tadinya menggigil kedinginan, kini sudah terlihat sedikit mendingan.
Mungkin karena hangatnya kopi telah merasuk ke dalam aliran darahnya lalu aku berkata sejenak.
“Maaf kak Hendra kalo boleh tau engkau asal dari mana”tanyaku.
“Owh aku dari palembang maaf ya aku lupa menyebutkanya tadi”ucapnya.
“Owh alah”jawabku.
Kami tenggelam pada sebuah dialog yang hangat. Hujan di luar tak kunjung reda. Rintiknya semakin menjadi-jadi, hembus anginnya sekin kencang namun, syukurlah karena kami menemukan sebuah kedai kopi yang hangat di dalamnya.