Sekolah menjadi mesin sosial, bukan sekadar dalam arti mentransmisikan informasi secara pasif, tetapi secara sadar menanamkan kesadaran, memproduksi cara-cara disiplin diri.
Di Indonesia, kepentingan politik praktis secara sistematis terlibat dalam penunjukan dan promosi guru; koneksi dengan kekuasaan sering kali lebih diutamakan daripada kompetensi profesional. Kurikulum pendidikan tidak pernah adil.
Sebaliknya, ini adalah arena pertarungan ideologis di mana kekuatan-kekuatan mempertahankan narasi dominan melalui pengembangan pengetahuan yang selektif.
Aktivisme politik guru terletak di antara dilema: tuntutan untuk profesionalisme murni, tekanan struktural untuk berkomitmen, dan kemungkinan perlawanan kritis.
Kepentingan politik memainkan peran dalam setiap ruang perekrutan, lembar kurikulum, dan gerakan guru. Mereka bukan hanya objek; mereka adalah subjek yang dapat bernegosiasi, menentang, atau bahkan mempertahankan status quo melalui praktik sehari-hari yang tampaknya netral tetapi sebenarnya sarat dengan kekuasaan.
Guru sebagai garda terdepan pendidikan menjadi korban pertama ketika pendidikan digunakan untuk meraih kekuasaan atau kepentingan politik. Seringkali, guru menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan diri dan tetap fokus pada pekerjaan utama mereka: mengajar.
Dalam dunia pendidikan, fenomena politisasi guru telah memiliki dampak yang mengkhawatirkan. Ketika guru terpaksa membagi fokus antara kewajiban politik praktis dan tanggung jawab mengajar, kualitas pembelajaran menurun drastis. Ini terbukti dengan penurunan kreativitas dalam metode pengajaran dan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk menyiapkan materi pembelajaran yang berkualitas.
Situasi ini menjadi lebih buruk ketika orang tua dan siswa menjadi lebih skeptis terhadap guru. Ini terutama terjadi ketika mereka melihat bahwa guru tidak selaras dengan prinsip demokrasi yang mereka ajarkan dan mereka terlibat dalam praktik politik yang seringkali tidak sehat.
Selain itu, ketidaksepakatan politik telah menyebabkan guru terpisah satu sama lain, yang pada gilirannya menghasilkan kelompok-kelompok eksklusif yang saling berseberangan, yang pada gilirannya mengganggu kerja sama dan harmoni di lingkungan pendidikan. Ini sangat ironis karena sekolah seharusnya menanamkan nilai-nilai kerja sama dan persatuan.
Pendekatan multi-dimensi yang sistematis dan berkelanjutan yang dapat membebaskan profesi guru dari cengkeraman politik praktis. Langkah-langkah tersebut termasuk memperkuat hukum melalui peraturan yang lebih ketat dan jelas tentang netralitas guru, termasuk sanksi khusus yang menargetkan guru yang terlibat dalam politik dan mencoba mengeksploitasi guru untuk kepentingan politik mereka.
Ini harus disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru melalui program pemberdayaan ekonomi yang komprehensif, dengan sistem sertifikasi yang jelas serta tunjangan profesional.
Organisasi seperti PGRI dan asosiasi guru lainnya harus diperkuat untuk melindungi profesi mereka dari berbagai bentuk intervensi politik. Mereka harus dengan tegas dan tanpa kompromi menolak politisasi anggota mereka.
Mereka juga harus menjadi platform aspirasi dan advokasi untuk hak dan profesionalisme guru.
Guru adalah agen perubahan yang dapat membantu membentuk masa depan negara. Tetapi mereka, seperti orang lain di dunia politik yang cepat, tidak dapat menghindari keadaan yang kurang ideal, bahkan berakhir dalam permainan politik praktis yang merugikan.
Mereka adalah benteng pendidikan yang harus dijaga. Politikalisasi guru-guru kita mengancam masa depan pendidikan nasional dan profesionalisme para pendidik kita. Semua orang harus bertekad untuk memberikan guru panggilan tertinggi dalam masyarakat sebagai agen perubahan bukan agen politik.
Jika bebas dari tekanan politik, guru, sebagai profesional, dapat kembali melakukan apa yang mereka lakukan dengan baik, yaitu menerangi kehidupan sebuah bangsa dan membentuk generasi warga negara yang akan berpikir secara mandiri, jujur, dan kritis.
Penulis: Ismail Nasar (Mahasiswa program S3 Ilmu Pendidikan Undiksha).