Efek Jera Polisi Nakal? Tuntutan Pidana Mati Irjen Teddy Minahasa Kasus Narkoba

lpkpkntb.com – Terlihat dalam photo tak ada kegundan dan kegelisahan di raut wajah mantan Kapolda Sumatera Barat itu. Bahkan dirinya melontarkan senyum sambil bersalaman dengan para pengacara.

Usai bersalaman dengan tim kuasa hukumnya, Teddy Minahasa langsung meninggalkan ruangan dan kembali ke ruang tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengungkapkan, Jaksa meyakini bahwa tuntutan pidana mati terhadap Teddy Minahasa sudah sesuai dengan keadilan di masyarakat.

“Jaksa melihat begitu dibuktikan di persidangan ternyata memang sudah terbukti, kemudian jaksa juga mencoba mengambil perasaan keadilan di dalam masyarakat, Nah kejahatan seperti ini hukumannya bagaimana, nah sampailah kesimpulannya pada mati. tapi ini belum selesai karena hakim belum memutuskan,” kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2023).

Fickar menambahkan, selain berasaskan keadilan di masyarakat, tuntutan itu juga sudah sesuai dengan pasal yang menjerat Teddy Minahasa. Yang mana ia dijerat dengan pasal yang ancaman hukumannya pidana mati.

“Apakah tuntutannya itu sesuai? Secara hukum itu sudah sesuai karena pasal yang didakwakan itu ancaman hukumannya memang mati dan seumur hidup juga. Jadi memang sudah sesuai, dan itu menurut jaksa sudah sesuai dengan perasaan peradilan di masyarakat,” dia menandaskan.

Adapun Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menyoroti tentang hukuman mati yang berlaku di Indonesia. Menurutnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy O. S. Hiariej telah menegaskan bahwa ketentuan pidana mati dalam KUHP baru yang memuat masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati dapat diterapkan sejak undang-undang tersebut disahkan meskipun pemberlakuan undang-undang tersebut secara efektif baru akan mulai pada 2 Januari 2026.

“ICJR mengapresiasi dan sepakat dengan pandangan Wamenkumham RI tersebut yang merupakan salah satu asas utama hukum pidana yaitu asas “in favor reo”, yang juga berhubungan dengan asas “in dubio pro reo” apabila nantinya muncul keragu-raguan dalam pemeriksaan perkara,” kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2023).

Dalam hukum pidana materil, dia menjelaskan, kedua asas ini mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP Lama yang masih berlaku saat ini, yang menyatakan bahwa “Jika undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.

“Dengan demikian, berdasarkan prinsip hukum pidana, jika terjadi perubahan hukum ketika perbuatan pidana telah dilakukan sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan undang-undang yang lama atau yang baru, maka harus dipilih ketentuan yang lebih meringankan bagi pelaku,” ujar dia.

Dia kemudian mengutip buku R. Soesilo yang diterbitkan ulang pada 1995. Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud lebih meringankan termasuk dalam konteks ringannya hukuman, bagian/elemen peristiwa pidana, jenis delik (aduan atau bukan), salah tidaknya terdakwa, dan sebagainya.

“Ketentuan pidana mati dalam KUHP Baru jelas lebih meringankan bagi terdakwa jika dibandingkan dengan KUHP Lama, sebab pidana mati dalam KUHP Baru tidak lagi dikategorikan sebagai jenis pidana pokok melainkan pidana yang bersifat khusus,” terang dia.

Iftitah Sari menerangkan, sifat kekhususan pidana mati, yang di antaranya secara otomatis dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun untuk kemudian dilakukan assessmen komutasi/perubahan hukuman menjadi penjara seumur hidup sehingga dalam periode tersebut eksekusi wajib ditunda, merupakan kondisi yang lebih meringankan bagi terdakwa.

“Konsekuensi perubahan hukum tersebut tentu akan berdampak pada seluruh terpidana mati yang saat ini ada dalam deret tunggu eksekusi mati (death row), baik yang baru diputus dan terutama yang sudah lebih dari 10 tahun di dalam deret tunggu,” ujar dia,

Kebijakan ini tentu bukan hanya baru diputuskan sekarang. Kondisi yang lebih meringankan ini sudah diputuskan jauh sebelum pengesahan KUHP baru.

“Adanya ketentuan masa percobaan 10 tahun untuk terpidana mati bahkan sudah ada di draft KUHP sebelum dikirim ke DPR pada 2015 oleh Presiden Jokowi. Ketentuan yang sama juga sudah ada bahkan jauh di era sebelum Presiden Jokowi,” kata Iftitah Sari.

Ketentuan mengenai pemberian masa percobaan untuk pengubahan hukuman dari pidana mati menjadi pidana jenis lain sudah tercantum pada draft-draft awal RKUHP. Dalam draft awal RKUHP itu, pencantuman masa percobaan 10 tahun tidak bergantung pada putusan dan pertimbangan Hakim, melainkan mekanisme terpisah seperti yang saat ini ada di KUHP baru, yaitu otomatis diberlakukan.

“Berdasarkan keterangan ahli Prof. Mardjono Reksodiputro, yang dimuat dalam Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, konsep pidana mati dalam draft RKUHP versi ke-2 tahun 1999-2000 merupakan titik temu perdebatan dari pihak yang pro dan kontra terhadap pidana mati yang bahkan telah muncul sejak penyusunan draft RKUHP versi ke-1 sebelum 1993 (Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007 hal. 283-288),” ujar dia.

Meskipun ICJR merekomendasikan penghapusan pidana mati dalam KUHP Baru, namun ICJR tetap mengapresiasi Pemerintah dan DPR yang berani mengambil langkah progresif dengan memastikan syarat percobaan 10 tahun pidana mati akan diberlakukan secara otomatis dalam KUHP Baru.

“Hal ini sesuai dengan catatan sidang pembahasan di DPR dan komitmen yang diambil oleh Pemerintah dan DPR. Hal ini juga menjadi komitmen Pemerintah Indonesia dalam berbagai sidang PBB yang menyatakan akan mengambil langkah-langkah progresif terkait eksekusi mati di Indonesia,” dia menandaskan.

Sementara itu Pakar pidana Universitas Jenderal Soediman, Hibnu Nugroho menilai langkah jaksa menuntut Teddy Minahasa dengan pidana mati sudah tepat.

“Saya menilai tuntutan hukuman mati dari Jaksa Penuntut Umum sudah tepat,” kata Hibnu, Kamis (30/3/2023).

Dalam tuntutan jaksa, tidak ada hal meringankan yang dicatat jaksa penuntut dalam tuntutannya tersebut. Sebab, jenderal bintang dua kepolisian ini adalah seorang penegak hukum yang notabene mengetahui dan sadar akan perbuatannya tersebut.

“Dia perwira tinggi lagi,” kata Hibnu.

Hal memberatkan lainnya adalah manakala Teddy Minahasa tidak mengakui perbuatannya. Sehingga, kata Hibnu, dia tidak membantu kelancaran jalannya persidangan.

“Dia tidak memperlancar jalannya pemeriksaan,” ungkap pakar pidana ini.

Teddy juga dinilai Hibnu tidak mendukung pemberantasan nakotika di Indonesia. Padahal Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat nakotika. Ini dibuktikan dengan isi penjara hampir 70 persen kasus nakotika.

“Teddy tidak bisa memberikan keteladanan terhadap polisi yang lain,” kata Hibnu.