“Om boleh nggak rikes di rumah sakit lain?”
“Emang kenapa, Mbak? Punya catatan buruk, ya, di RST? Mungkin pernah ngerusak fasilitas rumah sakit?”
Tangan Latifa melambai mengisyaratkan penolakan. “Eh, nggak, Om. Masa saya ada tampang kriminal begitu!” protesnya.
Prajurit yang diajaknya ngobrol hanya tertawa. “Bercanda. Pokoknya harus di situ, ya, Mbak.”
Latifa mendengus dengan wajah frustrasi. “Baiklah,” jawabnya tak bersemangat.
Tahu repot begini nikah sama tentara, nggak jadi aja deh nikahnya!
**
Malamnya, Latifa menelepon calon suaminya—Yogi. Seperti biasa, hanya nada dingin yang diterimanya, tak banyak lagi obrolan, calon suaminya itu hanya menginformasikan poin-poinnya. Tentara muda itu berkata kalau setelah rikes biasanya ke batalion lagi letsus, kemudian ke korem letsus juga, serta wawancara dan menjawab 30-an soal esai. Tak hanya sampai di situ, masih pula menghadap ke bintal untuk mengisi 50-an soal esai tentang keagamaan dan kepribadian.
Mata Latifa melotot. Gila, repot amat nikah ama tentara sombong ini!
“Capek, ya?” sindir Yogi di telepon. “Nyerah aja.”
Gadis berbulu mata lentik itu tersulut emosinya. “Eh, Mas, aku menerima perjodohan ini juga terpaksa, ya!” Tangan lembutnya membanting keras gagang telepon. Tanpa sadar, petugas penjaga wartel sudah berdiri di belakang dengan tampang kecut dan alis naik seperti gagang tali ember.
“Banting aja terus, Mbak!” sindirnya keras. “Kalau perlu bakar aja wartel ini.”
Latifa mengulum bibir. “Maaf, Bude.”
“Bude, bude! Saya masih muda!”
“Oh, berapa umurnya?”
“Masih 26 tahun!”
Latifa manggut-manggut. “Oh masih 26, tapi boros ya mukanya,” ucapnya polos membuat petugas wartel semakin murka.
“Udah, bayar cepat! Besok-besok nggak usah nelepon lagi di sini!” teriaknya melengking.
Buru-buru Latifah membayar seraya menutup kuping.
Apes banget aku hari ini!
Kalau ingat besok mau rikes di RST, aduh!
**
Keesokan harinya, Latifa pagi-pagi sudah sampai di RST, dia merangkap baju hijaunya dengan jas dokter alih-alih koas.
Mengendap-endap gadis berbulu mata lentik itu mendaftar dan mengambil nomor antrean sampai akhirnya tepukan di bahu mengagetkannya.
“Ifa, mau ngapain kamu?”
Latifa menoleh lalu meneguk ludah seraya menyembunyikan nomor antreannya.
“Mau lihat-lihat, Dok,” ngeles si calon dokter padahal ia sedang mengambil antrean untuk rikes sebagai syarat nikah dinas.
“Ngapain lihat-lihat orang mau rikes? Kurang kerjaan.” Dokter berkacamata tebal itu melirik ke pasangan abdi negara yang bermaksud untuk rikes. “Masih muda-muda udah pada nikah!” omelnya. “Harusnya berkarier dulu, mapan dulu suami istri, baru nikah.”
Tajam mata dokter senior itu menatap Latifa. “Jangan contoh mereka, Fa, kamu harus jadi dokter spesialis dulu baru nikah!”
“Siap, Dok,” jawab Latifa dengan tangan gemetar.
“Aku kasih nilai buruk praktikmu kalau kamu nikah cepat-cepat!”
Latifa menatap takut-takut ke Dokter Amber—dokter RST yang terkenal galak segalak babon ayam yang lagi bertelur. Dia semakin kalut, apalagi dokter berkacamata itu membahas karier. Sadar diri, Latifah kan juga masih kuliah, meski sudah di tahap koas.
Saat Dokter Amber berlalu, Latifa baru bisa bernapas lega. Kepalanya muncul kembali di meja resepsionis. “Mbak, Dokter yang bertugas menangani rikes siapa?” tanyanya basa-basi.
Semoga Dokter Isabel, friendly orangnya.
Petugas menujuk cepat. “Ya, dokter yang tadi itu, Dok,” jawabnya santai.
Mata Latifa mendelik kaget. “Dokter Amber?”
“Iya, Dok.”
Serasa ditimpuk panci, seketika Latifa berjongkok dengan mimik mau nangis.
Habis aku!
Bersambung
Yogi kalau tahu siapa Latifa, gimana sikapnya ya? 😊
Penulis: bunga_btp Buku Bunga Btp
Judul: Hitam di Atas Putih