Mahasiswa: “Prof, saya ingin bertanya. Apakah dingin itu ada?”
Ahli fisika : “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja, dingin itu ada.”
Mahasiswa: “Prof, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin sebenarnya adalah ketiadaan panas. Suhu -460 derajat Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam, tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata ‘dingin’ utk mengungkapkan ketiadaan panas. Selanjutnya, apakah gelap itu ada?”
Ahli fisika : “Tentu saja ada!”
Mahasiswa : “Anda salah, Prof! Gelap juga tidak ada. Gelap adalah keadaan di mana tiada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, sedangkan gelap tidak bisa. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk mengurai cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari panjang gelombang setiap warna. Tapi, Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur melalui berapa besar intensitas cahaya di ruangan itu. Kata ‘gelap’ dipakai manusia utk menggambarkan ketiadaan cahaya. Jadi, apakah kejahatan itu ada?”
Ahli fisika mulai bimbang, tapi menjawab: “Tentu saja ada.”
Mahasiswa: “Sekali lagi Anda salah, Prof! Kejahatan itu tidak ada. Allah tidak menciptakan kejahatan. Seperti dingin dan gelap, ‘kejahatan’ adalah kata yang dipakai manusia untuk menggambarkan ketiadaan Tuhan dalam dirinya. Kejahatan adalah hasil dari tidak hadirnya Allah dalam hati manusia.”
Ahli fisika terpaku dan terdiam!
Sifat atheis terjadi karena seseorang mengagungkan akal dan logikanya semata. Seakan yang tidak masuk akal itu tidak ada, sehingga Tuhan juga tidak ada karena tak bisa diraba, dilihat dan didengar. Inilah kepicikan logika manusia.
“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (Qs. 33 ayat 72).
By. Satria hadi lubis