Dengan mengendarai kuda pimpinan tentara PKI berhenti didepan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka.
Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…).
Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak. Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar.
Akhirnya, PKI pun kembali kerumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini).
Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, (putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam keadaan porak poranda.
Disisi lain, KH. Imam Zarkasyi dan KH. Ahmad Sahal berkenan mengungsi bersama santri. Mereka menuju Trenggalek. Namun, ketika masuk dukuh Gurik, desa Ngadirejo, segerombolan orang dengan membawa golok, tombak, bambu runcing, dan sabit mengepung mereka. Dengan bengis mereka menginterogasi rombongan.
Para jagoan, yang ternyata anggota PKI itu, ingin memastikan bahwa mereka bukan tantara Hizbullah. KH. Ahmad Sahal berhasil meyakinkan, dan akhirnya mereka hanya ditahan untuk interogasi lebih lanjut. Agaknya, anggota PKI itu, tidak tahu bahwa KH. Ahmad Sahal dan KH. Imam Zarkasyi berada di dalam rombongan itu.
Namun, siksaan demi siksaan mereka rasakan. Santri senior, Ghozali Anwar dan Imam Badri diinterogasi secara khusus, karena melihat badan mereka yang besar dan kekar, yang disangka tantara. Di saat seperti ini, KH. Ahmad Sahal berujar kepada adiknya KH. Imam Zarkasyi, “Ben aku wae sing mati. Uduk kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati…” (Biar saya yang mari, bukan kamu. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati…”
Mereka ditahan di dukuh Buyut, besoknya dipindah ke dukuh Ploso, lalu besoknya dipindah lagi ke kecamatan Soko. Ruang tahanan yang hanya berukuran 4×4 m, dihuni 70 orang. Pakaian dilucuti, dan hanya menyisakan pakaian dalam. Setelah 2 hari, mereka dibawa ke Ponorogo. Mulanya di tempatkan di Panti Yugo, dan pada akhirnya dikumpulkan di Masjid Muhammadiyah yang sudah dipasangi bom. Rencananya, beberapa orang pentingnya akan dipancung sebagai percontohan, dan masjid akan diledakkan.
Namun, dibawah komando Abd Choliq Hasyim (putra ke-6, KH. Hasyim Asyari), para tentara berhasil mengepung masjid dan membebaskan tawanan. Bahkan memadamkan api pemberontakan di Ponorogo.
Semoga sejarah ini menjadi pengingat dan pelajaran berharga untuk perjuangan mempertahankan Islam, Pesantren, Bangsa dan Negara.
Ditulis oleh:
Ahmad Ghozali Fadli
Khodimul Ma’had Bumi Al Quran, Wonosalam Jombang.
Sekjen PP FMA Gontor
(Foto: pemberi Sambutan yang berdiri adalah KH. Yusuf Hasyim)