Analisis ini terasa melebar. Sesungguhnya tidak. Semata-mata untuk meletakkan upaya penjegalan Anies oleh Firli dalam konteks keterlibatan Polri di panggung politik praktis. Dalam arti, upaya Firli untuk menjegal Anies bukan manuver yang berdiri sendiri, konon pula mau disebut langkah hukum murni.
Jelas omong kosong kalau mau disebut langkah penegakan hukum semata. Firli sendiri pun, sesuai laporan Tempo, mengakui bahwa menjadikan Anies sebagai tersangka sesudah dia dideklarasikan sebagai capres akan menimbulkan gejolak politik. Itu sebabnya dia mendesak tim penyelidik Formula E di KPK agar meningkatkan status kasusnya menjadi penyidikan. Dan Anies dijadikan tersangka mumpung belum dideklarasikan.
Firli masih tetap bisa menjadikan Anies tersangka dan kemudian menahan Gubernur DKI yang sekarang paling kuat dalam berbagai survey atau jajak pendapat itu. Cuma, risikonya sangat tinggi. Anies sudah terlanjur memiliki basis kekuatan massa pendukung yang terbentuk tanpa inisiatif dia sendiri.
Jadi, begitulah Kekuatan Alam bekerja. Firli diutus menjadi Ketua KPK agar Anies segera dideklarasikan sebagai capres. Sekaligus, Firli juga diutus untuk menambah beban berat Polri yang bertahun-tahun ini tertanam di memori banyak orang sebagai institusi yang melakukan kesewenangan terhadap rakyat.
Hari ini, semuanya terbuka secara otomatis. Kesewenangan (mantan Irjen Pol) Ferdy Sambo dan jaringan mafianya di Polri bertemu dan menyatu dengan upaya Komjen Pol Firli Bahuri untuk menjegal Anies Baswedan. Secara kebetulan, kedua polisi senior ini termasuk binaan Jenderal Pol Tito Karnavian sewaktu dia menjadi Kapolri hingga 2019.
Itulah hikmah dari upaya politik Firli untuk menghalangi Anies. Terkuaklah benang merah, atau lebih tepatnya “bold line” (garis tebal), yang menghubungkan Firli-Tito-Ferdy.
Jadi, untunglah ada Firli yang mau menjegal Anies. Semuanya menjadi terang-benderang.[]
6 Oktober 2022
(Jurnalis Senior FNN)