“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Dan pendapat di atas merupakan madzab imam empat, tidak hanya syafi’iyyah saja, akan tetapi ini juga pendapat hanafiyah, malikiyah dan juga hanabilah.
Pendek kata dari pemaparan di atas, bahwa tuduhan bahwa wahhabi anti ziarah kubur tidaklah benar, hanya saja mereka mengingkari penyimpangan yang terjadi di saat ziarah kubur, di antaranya adalah meminta dan berdoa kepada ahli kubur, shalat menghadap kuburan, meninggikan kuburan dan juga penyimpangan-penyimpangan lainnya, yang mana larangan tersebut berdasarkan hadits nabi dan juga pemahaman imam-imam ahlussunnah wal jama’ah.
*4. Wahhabi dikatakan tidak mencintai nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam?*
Di antara ciri yang sering dialamatkan kepada kelompok yang disebut wahhabi adalah mereka tidak mencintai nabi dan juga keluarga nabi, hal ini di karenakan mereka tidak mau mengadakan shalawat berjamaa’ah, tidak mau merayakan perayaan maulid nabi dan seterusnya. Sehingga dengan itu semua, kelompok wahhabi dianggap melecehkan dan tidak menyanjung Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Akan tetapi anggapan ini tidaklah benar karena kelompok yang dijuluki wahhabi ini mereka mencintai nabi, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang mana, orang-orang menisbatkan kelompok ini kepada namanya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mencantumkan dalam kitab at-Tauhid bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ».
“Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman hingga aku (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaih wasllam) lebih dia cintai daripada orang tua dan anak-anaknya serta seluruh manusia” (Muttafaq Alaihi)
Pencantuman hadits di atas menunjukkan pemahaman beliau akan wajibnya mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan harta bendanya.
Hal tersebut ditegaskan oleh syaikh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman rahimahullah selaku pensyarah fathul majid syarh kitab tauhid, beliau berkata:
مَحَبَّةُ الرّسُوْلِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ، أَنْ يَكُونَ الرّسُولُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ أَحَبّ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيعِ مَنْ فِي الدُّنْيَا،
Mencintai Rasulullah shallallahun’alaihi wasallam hukumnya fardhu ‘ain atas setiap muslim laki-laki dan perempuan, dan hendaknya Rasulullah lebih ia cintai dari pada seluruh manusia yang ada di dunia. [7]
Hanya saja kelompok yang dikatakan wahhabi ini mencintai nabi dengan cara yang diajarkan nabi, menghidupkan ajarannya, mengikuti sunnah-sunnahnya dan tidak mengada-adakan hal baru dalam urusan agamanya.
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).
*5. Wahhabi dikatakan memiliki faham mujassimah dan musyabbihah?*
Banyak orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu telah menuduh kelompok yang dinamakan wahhabi ini memiliki ideologi tajsim wa tasbih fi sifatillah (bahwa Allah memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia).
*Apakah benar tuduhan tersebut?*
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah sebagai seorang yang sering disebut sebagai tokoh inspirator gerakan wahhabi oleh musuh-musuh dakwah, beliau berkata:
“Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah mengimani Tauhid al-Asma’ wash Shifat dengan menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan atas Diri-Nya dan telah ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, tanpa tahrif (pengubahan) dan ta’thil [meniadakan] serta tanpa takyif [membagaimanakan] dan tamtsil [menyerupakan]. Menetapkan tanpa tamtsil, menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua Sifat-Sifat Allah dan menafikan persamaan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [Asy-Syuura: 11]
Lafazh ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ“Tidak ada yang serupa dengan-Nya,” merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan Sifat-Sifat Allah dengan makhluk-Nya.
Sedangkan lafazh ayat وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat,” adalah bantahan kepada orang-orang yang menafikan (mengingkari) Sifat-Sifat Allah. [8]
I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala didasari atas dua prinsip:
Pertama: Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib disucikan dari semua nama dan sifat kekurangan secara mutlak, seperti miskin, fakir, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Kedua: Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.”
Penjelasan di atas secara tegas membantah anggapan bahwa kelompok yang disebut Wahhabi bermadzhab tajsim dan tasybih akan tetapi pendapat mereka adalah sebagaima pendapat para salaf ahlussunnah wal jama’ah.
*6. Wahhabi memiliki madzhab baru yang menyelisihi madzhab empat?*
Banyak kalangan yang tidak faham menuduh bahwa kelompok wahhabi hendak membuat madzhab sendiri yang keluar dari madzhab ahlus-sunnah wal-jama’ah, kelompok wahhabi dikatakan berusaha untuk meniadakan madzhab-madzhab yang sudah ada.
*Benarkah tuduhan ini?*
Syaikh Sulaiman bin Sahman murid dari syekh Abdurrahman bin Hasan (cucu syekh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumullah) beliau berkata: ‘Adapun madzhab kami adalah madzhab Imam Ahmad bin Hanbal Imam Ahlus sunnah wal jama’ah, dan apabila telah jelas bagi kami hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kami mengamalkannya, dan kami tidak mendahulukan perkataan siapapun atas perkataan rasulullah, siapapun orangnya”. [9]
Perkataan syekh di atas telah menggugurkan para pendengki yang menyebut bahwa kelompok yang dikatakan wahhabi merupakan aliran baru dalam Islam, akan tetapi yang benar adalah bahwa mereka bermadzhab hambali meskipun mereka tidak fanatik sempit terhadap Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
*Penutup*
Pernyataan dan pemaparan singkat di atas otomatis atau paling tidak menggugurkan opini sebagian orang yang menganggap bahwa kelompok yang dinamakan wahhabi ini merupakan kelompok baru yang keluar dari Ahlussunnah wal jama’ah, kelompok yang sesat dan seterusnya, tentunya hal tersebut tidaklah benar akan tetapi kalau kita mau menelisik dan memahami permasalahan ini dengan benar, adil, amanah, jujur dan objektif maka kita akan tahu bahwa mereka *BUKANLAH WAHHABI* akan tetapi justru merekalah *PENGIKUT NABI YANG SEJATI salafiyuun Ahlussunnah wal jama’ah al-firqotun Najiyah.*
Masih banyak hal-hal miring dan prasangka-prasnagka negatif yang disematkan pada kelompok salafiyah ahlussunnah wal jama’ah ini, akan tetapi pada pembahasan kali ini kita cukupkan sampai di sini dan insya Allah akan kita kupas kembali tuduhan-tuduhan miring pada dakwah yang penuh berkah ini pada edisi yang akan datang insya Allah.
Wa shallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washohbihi ajmain, wal hamdulillahi rabbil ‘alamin.
Referensi:
1. Mas’ud An-Nadawi, Muhammamd bin Abdul Wahhab muslihun mazhlummuftara ‘alaihi (Riyadh: Wizarah Syu’un al-Islamiyah, 1420 H).
2. Abdurrahman bin ‘Umar Baa ‘Alawi; Bugyatul Mustarsyidin (Beirut: Daarul Fikir,tt).
3. Abu Zakariya Yahya bin saraf an-Nawawi, Al-Minhaaj Syarah Shohih Muslim, (Beirut: Daarul Ihya at-turats, 1392 H).
4. Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolany; Fathul Baari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379).
5. Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Umm bab maa yakuunu ba’dad dafni (Beirut: Dar al-Ma’rifah: 1393 H), 1/227 diakses via al-Maktabah as-Syamilah isdar III.
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Minhaajus Sunnah (Muassasah Qurthubah), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim
[1] Abdurrahman bin ‘Umar Baa ‘Alawi; Bugyatul Mustarsyidin (Beirut: Daarul Fikir, tt) hal 20.
[2] Abu Zakariya Yahya bin saraf an-Nawawi, Al-Minhaaj Syarah Shohih Muslim, (Beirut: Daarul Ihya at-turats, 1392 H)
[3] Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqolany; Fathul Baari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379) 10/264.
[4] Mas’ud An-Nadawi, Muhammamd bin Abdul Wahhab muslihun mazhlummuftara ‘alaihi (Riyadh: Wizarah Syu’un al-Islamiyah, 1420 H), 188
[5] Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, al-Umm bab maa yakuunu ba’dad dafni (Beirut: Dar al-Ma’rifah: 1393 H), 1/227 diakses via al-Maktabah as-Syamilah isdar III.
[6] Al-Imam Abu Zakariya bin Syaraf an-Nawai, Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, Bab ta’ziyah wal buka’ ‘alal mayyit; Vol. 5, hal. 316
[7] Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman , Syarah Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, teks diambil dari http://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=139937 diakses pada 20-mei-2015.
[8] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Minhaajus Sunnah (Muassasah Qurthubah), tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim. : Vol. II, hal: 111, 523
[9] Sulaiman bin Sahman, Majmu’atul Hadiyyah as-Sunniyah hal 99, dinukil oleh Mas’ud An-Nadawi, Muhammad bin Abdul Wahhab muslihun mazhlum muftara ‘alaihi (Riyadh: Wizarah Syu’un al-Islamiyah, 1420 H, 167-177). (Abi/Ron).